Festival Kali Bersih Berlangsung Sepanjang Tahun

Festival Kali Bersih Banyuwangi

Upaya mengubah "wajah" sungai di Banyuwangi resmi dimulai kemarin (26/4). Hal itu ditandai dengan peluncuran Festival Kali Bersih oleh Bupati Abdullah Azwar Anas di aliran Sungai Kalilo, Kelurahan Singonegaran, Kecamatan Banyuwangi.

Festival yang bertujuan menanamkan budaya masyarakat agar tidak membuang sampah dan kotoran ke sungai ini tidak hanya menyasar sungai yang mengalir di kawasan Kota Banyuwangi. Sebaliknya, sungai-sungai yang tersebar di seantero Bumi Blambangan juga tidak luput menjadi sasaran.

Menurut Bupati Anas, Festival Kali Bersih edisi perdana tersebut akan berlangsung sepanjang tahun 2015. Dikatakan, target jangka dari Festival Kali Bersih adalah tumbuhnya budaya menjaga kebersihan sungai di kalangan masyarakat. "Selama ini sungai seolah menjadi cerobong pembuangan sampah. Melalui Festival Kali Bersih ini, mari kita tinggalkan kebiasaan yang tidak baik tersebut," ajaknya.

Anas mengatakan, Festival Kali Bersih kali ini akan melombakan tingkat kebersihan sungai di seluruh Banyuwangi. Agar kebersihan sungai terus terjaga, penilaian akan dilakukan secara "diam-diam" "Akan ada hadiah untuk masyarakat desa atau kelurahan yang sungainya paling baik. Hadiahnya berupa sapi. Selain itu, hadiah untuk desa atau kelurahan yang kondisi sungainya paling baik akan mendapat tambahan insentif desa," kata dia.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Pengairan, Guntur Priambodo mengatakan, melalui Festival Kali Bersih, Pemkab Banyuwangi mendorong keterlibatan masyarakat menjaga kebersihan sungai. "Mari kita kembalikan sungai-sungai di Banyuwangi seperti semula, sesuai fungsi dan manfaatnya," ujarnya.

Guntur menambahkan, setiap kecamatan akan mengusulkan sungai yang diikutkan pada Festival Kali Bersih tahun ini. Sungai tersebut selanjutnya akan dinilai selama enam bulan ke depan. Variabel penilaian sungai meliputi kondisi sungai saat ini dan progress selama enam bulan mendatang. "Keterlibatan dan kepedulian masyarakat dalam menjaga kebersihan sungai menjadi variabel yang nilainya tinggi," cetusnya.

Guntur berharap, masyarakat yang tinggal di sekitar sempadan sungai menjadikan sungai tersebut sebagai halaman depan, bukan halaman belakang rumah. "Jangan membuat dapur atau kamar mandi yang limbahnya dibuang ke sungai," pintanya.

Nah, jika rumah yang ada di sekitar sempadan sungai itu menghadap ke sungai, maka sang pemilik rumah akan merasa risi jika sungai tersebut kotor. "Secara otomatis mereka akan ikut menjaga kebersihan sungai," kata dia.

Jika sungai bersih, imbuh Guntur, maka sungai bisa menjadi tempat yang nyaman, termasuk untuk tempat bermain anak-anak. "Mari kita jadikan sungai sebagai tempat yang aman dari polutan, limbah, dan sampah," serunya. (RaBa)

Related Posts:

Eko Budi Winyoto, Pelukis Potret yang Masih Eksis

Eko Budi Winyoto, Pelukis Potret yang Masih Eksis

Dalam waktu yang tidak lama, goresan-goresan tangan dengan menggunakan tinta serbuk membuat satu lukisan potret terselesaikan. Kelihatan mudah, namun tidak semua orang bisa mengerjakannya.

Melukis memang sudah menjadi hobi bagi Eko Budi Winyoto sejak kecil. Sampai saat ini, melukis adalah bagian dari hidupnya yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan, melukis bagi dirinya sudah dijadikan sebagai mata pencarian dalam kehidupan sehari-harinya.

Bapak satu anak kelahiran Blitar 10 November 1971 ini adalah seorang pelukis potret yang sampai saat ini masih eksis di Banyuwangi. Jika melewati Jalan Letkol Istiqlah, tepatnya di barat perempatan lampu merah Singomayan pasti akan menjumpai Eko sedang memamerkan lukisan-lukisan karyanya.

Dia berharap ada pelanggan yang ingin dilukis. Eko ngepos di tempat tersebut mulai pukul 08.00 hingga 17.00. Dia selalu setia "ngemper" di trotoar barat lampu merah tersebut. Namun, sejak hujan sering mengguyur Banyuwangi akhir-akhir ini membuat Eko lebih sering menerima pesanan dan membuat karya lukisan di rumah kontrakannya di lalan Dedali Putih No 2, Kelurahan Temunggungan, Banyuwangi. Meski tidak "ngemper" di trotoar, hal tersebut tidak menyurutkan pelanggan setia yang ingin dilukis kepadanya.

Pelanggannya juga tidak segan untuk datang ke rumah Eko agar bisa dilukiskan sesuai yang diinginkan. Saat faiva Pos Radar Banyuwangi datang ke rumah Eko, pria asli Blitar ini sedang menyelesaikan satu karya lukisan potret pesanan pelanggannya. Terlihat, tangan kiri memegang foto yang sudah jadi, tangan kanannya sibuk menggoreskan tinta serbuk di atas kertas.

Sembari menyelesaikan satu lukisan pelanggannya, Eko menceritakan mengapa melukis sampai saat ini dijadikan pekerjaannya. "Melukis ini sudah menjadi hobi, tidak ada keahlian lain selain hobi saya ini. Makanya saya bertahan sampai saat ini," kata Eko.

Bertahannya Eko menjadi pelukis potret karena pelanggan yang ingin dilukis tidak pernah surut. Hal tersebut juga menjadi alasan mengapa dia bertahan untuk menekuni menjadi pelukis potret. "Yang minta dilukis masih ada, makanya saya masih bertahan sampai sekarang. Kalau tidak ada pelanggan, mungkin saya tidak bekerja sebagai pelukis," terangnya.

Sebelum datang ke Banyuwangi, Eko sudah melanglang buana di berbagai kota besar di Indonesia. Sejak masih bujang, dia sudah menjadi pelukis potret di jalanan. Sebut saja Surabaya, Malang, Bandung, Jakarta dan Pulau Bali. Beberapa kota-kota besar tersebut pernah dia singgahi untuk mencari rezeki sebagai pelukis potret.

Dia mengaku sudah berada di Banyuwangi sejak 20 tahun yang lalu. Dia bisa bertahan lama di Banyuwangi sejauh ini juga karena pelanggannya tidak pernah habis. Tidak seperti di kota-kota lain yang pernah dia singgahi, pelanggannya makin tahun makin menurun. "Di Banyuwangi ini ada saja pelanggannya," ujar Eko sambil melukis.

Biasanya, pelanggan yang ingin dia lukiskan itu kebanyakan dari kalangan pelajar atau anak-anak muda. Namun, tidak sedikit juga dari kalangan orang tuayangingin memesan lukisan foto kepada dirinya. Biaya yang murah dari lukisannya dan sangat cocok digunakan sebagai kenang-kenangan juga menjadi alasan mengapa anak muda yang banyak memesan lukisan kepada dirinya. "Kadang dibuat kado ulang tahun untuk pacarnya atau juga dibuat hadiah pernikahan. Yang banyak memang dari pelajar yang pesan," jelas pelukis yang hanya tamatan SMA ini.

Ternyata, untuk satu lukisan ukuran 16, dia tidak mematok harga yang mahal. Cukup dengan uang Rp 75 ribu, satu gambar foto yang diinginkan bisa tergores indah di atas kertas dengan media serbuk tinta. "Harga tergantung ukuran dan kesulitan dari foto yang akan saya lukis. Ini menggunakan kertas linen," katanya.

Penggunaan kertas linen juga bukan tanpa alasan, selain karena harganya yang sangat murah. Kertas linen juga dirasa cocok untuk lukisan yang menggunakan serbuk tinta tersebut. Dengan harga-harga bahan dasarnya yang sangat murah tersebut juga diharapkan bisa sesuai dengan harga jual lukisan yang dirasa sangat murah. "Harga lukisan saya ini tergolong murah, di Malang untuk ukuran lukisan 16 RS bisa mencapai Rp 250 ribu," tambahnya.

Meski harga lukisan yang dia jual tergolong murah, namun dia tetap bertahan demi pelanggannya. Dia tidak berani memberikan harga yang mahal kepada pelanggan karena takut kehilangan pelanggan nantinya. Sebab, di Banyuwangi menurutnya, karya lukisan dengan harga Rp 75 ribu saja kadang masih ada yang menawar. "Padahal sudah termasuk murah, tapi ya kadang masih di tawar, tapi ya enggak apa-apa, kalau foto yang digambar mudah saya berani memberi harga murah," katanya.

Harga murah sebuah karya lukisannya juga menjadi alasan mengapa pelanggan masih ada saja sampai saat ini. Bisa kita bayangkan, jika memesan lukisan dari para pelukis-pelukis ternama harga lukisan bisa mencapai puluhan juta. Bahkan bisa mencapai miliaran. "Dulu sebelum harga-harga pokok dapur naik, harga lukisan ukuran 16rs hanya Rp 50 ribu. Karena harga pokok dapur naik, saya naikkan sedikit harganya saat ini menjadi Rp 75 ribu," ujarnya sambil tersenyum kecil.

Keahlian melukis yang dia punya ternyata dari belajar otodidak. Tidak ada yang mengajari dia untuk menjadi pelukis sejak masih kecil. Gambar-menggambar adalah kesibukan lain yang tidak pernah dia pisahkan dalam kesehariannya sejak kecil. (RaBa)

Related Posts:

Komunitas: Menyatu Lewat Yoga

Cahaya Inner Beauty Yoga Banyuwangi

Yoga berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti penyatuan, yakni penyatuan dengan alam atau penyatuan dengan Sang Pencipta.

Yoga merupakan salah satu dari enam ajaran dalam filsafat Hindu, yang menitikberatkan pada aktivitas meditasi atau tapa. Seseorang memusatkan seluruh pikiran untuk mengontrol panca inderanya dan tubuhnya secara keseluruhan.

Masyarakat umumnya mengenal yoga sebagai aktivitas latihan. Utamanya asana (postur) bagian dari hatta yoga. Yoga juga digunakan sebagai salah satu pengobatan alternatif. Biasanya hal itu dilakukan dengan latihan pernapasan, olah tubuh, dan meditasi, yang telah dikenal dan dipraktikkan selama lebih dari 5.000 tahun.

Kini yoga tak hanya dilakukan umat Hindu. Komunitas yoga telah merambah lintas agama, budaya, dan negara. Beragam komunitas yoga telah berdiri. Salah satunya Cahaya Inner Beauty Yoga Banyuwangi.

Sejak dua pekan lalu Cahaya lnner Beauty Yuga memulai latihan yoga di Pantai Boom, Banyuwangi. Puluhan peserta yang rata-rata wanita dari berbagai latar belakang profesi itu belajar olah gerak tubuh hingga lentur. Dengan beralas matras beberapa gerakan yoga dasar mulai diperagakan. Iringan musik relaksasi menjadi bagian dari olah raga yang membutuhkan keseimbangan itu.

Trainer Yoga Cahaya lnner Beauty, Nurhayani, menjelaskan saat ini di Banyuwangi sudah mulai terbentuk komunitas yoga. Diakui, mengenalkan yoga tidak semudah aerobic. "Oleh karena itu, kami mengenalkan yoga ini lebih bersifat universal jauh dari pengaruh agama, sekte, dan kelompok tertentu. Kami di sini belajar mendapatkan semua manfaat yoga," kata Nurhayani.

Dikatakan, berlatih yoga setiap hari dapat bermanfaat bagi kesehatan. Yoga tidak hanya membantu mengendalikan penyakit, tapi juga berperan penting dalam mencapai relaksasi dan kebugaran fisik. Manfaat yoga, di antaranya menghilangkan depresi dan stress, mengendalikan hipertensi, menyehatkan jantung, dan osteoarthritis. Yoga juga bisa menurunkan berat badan. "Nah, manfaat Yoga untuk kesehatan itulah yang kita cari untuk diri kita sendiri," terang wanita berjilbab itu.

Nurhayani menambahkan, di dalam Yoga ada delapan tahap yang disebut astangga. Kedelapan astangga itu adalah yama (pengendalian), niyama (peraturan), asana (sikap tubuh), pranayama (latihan pemapasan), patayahara (menarik semua indriya ke dalam), dharana (memusatkan diri), dhyana (merenungkan diri), dan samadhi (menyatu/merealisasikan diri). "Melakukan yoga memang harus didampingi instruktur agar tidak salah penerapan," pungkas Nurhayani. (RaBa)

Related Posts:

In Memoriam Penyanyi Kendang Kempul Banyuwangi Alif S

Penyanyi Kendang Kempul Banyuwangi Alif S

Aduh Rehana... Ison yo seng kuwat, ndeleng riko kari seng ono liyane.

Kira-kira seperti itulah kutipan lirik lagu berjudul "Rehana" yang pernah dipopulerkan Alif S., penyanyi kendang kempul asal Kecamatan Genteng yang tutup usia pada usia 57 tahun Jumat lalu (3/4). Bagaimana sosok almarhum semasa hidup di mata kerabatnya?

Alif S. memiliki nama asli Khoirul Alif. Dia lahir dari pasangan Abu Bakar (alm) seorang warga keturunan Pakistan dan Masratik Akim, 72. Anak kedua dari sembilan bersaudara itu memiliki bakat menyanyi sejak duduk di bangku sekolah dasar.

Rahman Hakim, 35, adik kandung Alif, menceritakan sekelumit kisah hidup penyanyi kendang kempul itu kepada Jawa Pos Hadar Banyuwangi.

Di saat penyanyi kendang kempul itu meninggal dunia Jumat (3/4) pagi, puluhan penyanyi yang pernah ngetop di era 1990-an dan beberapa seniman lain hadir untuk memberikan penghormatan terakhir. Banyakyang tidak menyangka penyanyi yang pernah memopulerkan tembang "Rehana" ini begitu cepat dipanggil sang pencipta.

Di antara sekian banyak pelayat yang hadir, salah satu orang yang paling mengetahui kondisi Alif adalah Shella, 46. Dia adalah orang pertama yang melihat Alif mengembuskan napas terakhir. Hubungan Shella dan Alif sudah berlangsung lebih dari 23 tahun. Saat itu Shella menjadi orang yang mengatur tata rias Alif, termasuk akomodasi dan keperluan lain saat menyanyi. Dengan kata lain, tugasnya bisa dibilang mirip manajer artis.

Mereka tinggal bersama di rumah Shella di Dusun Kejoyo, Desa Tambong, kecamatan Kabat. Sampai kemudian delapan tahun lalu, ketika karir Alif semakin meredup, pelantun lagu "Udan Awu" itu tiba-tiba pergi.

Shella mengira saat itu Alif terjerat kebutuhan finansial yang mendesak, sehingga tidak ingin merepotkan dirinya. Setahun kemudian, ketika mengetahui Alif ternyata menempati salah satu warung di Terminal Rogojampi dan menjadi penjual kopi. Shella sempat mengajak Alif pulang. Namun, permimaannya ditolak.

Dan baru Kamis (12/3) lalu Alif tiba-tiba muncul kembali di depan rumah Shella diantar seorang tukang ojek. Ketika itu kondisi Alif sudah lemas dan sakit. Shella pun sempat menyarankan agar Alif pulang ke rumah ibunya di Kecamatan Genteng, tapi Alif tidak mau. "Waktu itu saya minta dia pulang ke rumah orang tuanya. Tetapi, dia ngomong, Riko wes seng kuwat tah ngerawati ison. Saya tidak tega melihatnya. Lalu, sampai meninggal dunia, dia tinggal bersama saya," kata Shella.

Di mata Shella, Alif merupakan sosok yang sangat suka bercanda. Bahkan, sebelum meninggal dunia, berulang kali Alif meminta dibacakan Yasin. Alasannya, agar jika tiba-tiba meninggal, dirinya tenang karena sering dibacakan ayat suci. "Saya beberapa kali memarahinya karena yang dibicarakan masalah mati terus, tapi Mas Alif malah tertawa. Waktu meninggal, saya lihat wajahnya tenang sekali," kenang Shella.

Sementara itu, penyanyi kendang kempul lain, Sumiyati, 56, juga memiliki kenangan dengan Alif. Sejak Alif tinggal di Terminal Rogojampi, dirinya memang jarang bertemu. Tetapi, selama masih sering menyanyi dulu, Alif selalu berbagi dengan Sumiyati tentang cara menghayati lagu. Alif pun pernah ditawari Sumiyati tinggal di rumahnya, tapi Alif tidak mau.

Terakhir, Sumiyati menceritakan terakhir kali dirinya benemu Alif pada pertengahan Maret. Saat itu Sumiyati mengajak Alif rekaman lagi lagu-lagu lama mereka. Alif menyanggupi permintaan Sumiyati itu dengan syarat kepalanya tidak didorong-dorong. "Mas Alif senang sekali ketika diajak rekaman lagu lama. Tapi ya itu, dia bilang hang penting endas ison ojo dis undung-sundungaken nawi mati engko,” kata Sumiyati menirukan kata-kata Alif.

Subari Sofyan, salah satu seniman gaek Banyuwangi mengatakan, sosok Alif bagaikan guru di bidang seni. Sampai mendekati akhir usianya, Alif nyaris tidak memiliki apa pun. Tetapi, Subari melihat sosok penyanyi asal Genteng itu adalah orang yang tegar dalam menghadapi kehidupan. "Dua hari sebelum meninggal, saya sempat bertemu Mas Alif. Dia adalah sosok yang sangat mencintai seni dan seorang seniman bertalenta tinggi. Semoga jalannya dilapangkan," kata Subari.

Usai pemakaman, para penyanyi dan seniman yang hadir sepakat akan menyanyikan lagu-lagu Alif dalam acara perkumpulan penyanyi kendang kempul. Empat lagu yang sudah dinyanyikan Alif dan sempat direkam sebelum meninggal pun kemungkinan akan diudarakan sebagai penghormatan kepada almarhum Alif. Meski sudah tak lagi ada di dunia ini, tapi lantunan suara Alif masih terus dapat didengarkan, seperti dalam lagu "Konco lawas, Rehana, Elek-elek Ngerejekeni, dan Udan Awu”. (RaBa)

Related Posts:

Jangan Sepelekan Gerakan PKK

Jangan Sepelekan Gerakan PKK

Sampai saat ini masih ada sebagian masyarakat yang memandang sebelah mata dan remeh gerakan PKK. Mereka menganggap PKK identik dengan arisan ibu-ibu, praktik memasak, simpan pinjam uang, tabungan Lebaran, ajang promosi produk dengan iming-iming bonus yang wow. Ada juga yang mengatakan PKK adalah kumpulan Perempuan Kurang Kerjaan dan Perempuan Kesana-Kemari.

Sejatinya PKK adalah suatu gerakan milik masyarakat, bukan hanya milik kaum wanita. Peran pria juga dibutuhkan dalam PKK. Nah, persepsi dan asumsi sebagian masyarakat yang keliru itu harus diluruskan. Sebab, gerakan PKK berupaya meningkatkan kesejahteraan keluarga dan mendongkrak kualitas hidup masyarakat. Seiring peningkatan kebutuhan masyarakat dan tantangan pembangunan, PKK terus berupaya mencari solusi bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat.

PKK berupaya bekerja keras, bekerja cerdas, bekerja ikhlas, demi mewujudkan keluarga sehat berkualitas dan mandiri. Itu telah menjadi tekad yang bulat bagi PKK. Berbagai upaya dilakukan guna memacu kesadaran sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, kesehatan, reproduksi, pendidikan, ekonomi, dan fungsi lingkungan. Semua itu sudah diakomodasi dalam sepuluh program pokok PKK.

Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Jawa Timur, Nina Soekarwo, menjelaskan PKK merupakan gerakan nasional dalam pembangunan masyarakat yang pengelolaannya dari, oleh, dan untuk masyarakat. Tujuannya adalah mewujudkan keluarga sejahtera dan mitra kerja pemerintah yang memiliki jaringan komunikasi yang terstruktur dari tingkat pusat sampai pintu rumah tangga.

Gerakan PKK prinsipnya adalah pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Pendekatannya dilakukan secara persuasif dan personal dari hati ke hati. Hubungan kerja antar tim penggerak PKK bersifat konsultatif, koordinatif, dan hierarki. Untuk mendekatkan jangkauan pembinaan keluarga, maka dibentuk kelompok-kelompok PKK dusun atau lingkungan, RT/RW dan Dasa Wisma.

Dalam melaksanakan program dan kegiatannya, PKK senantiasa berusaha mengembangkan potensi keluarga dan masyarakat. Selain itu, PKK selalu melibatkan seluruh lapisan masyarakat, memantapkan jaringan komunikasi dari pusat sampai Dasa Wisma.

Kini keberadaan PKK semakin diperhitungkan sebagai mitra kerja pemerintah. Sebab, gerakan PKK memiliki kekuatan yang sangat besar dengan jaringan komunikasi yang mantap dari tingkat pusat sampai tingkat bawah. Oleh karena itu, PKK mampu membawa pesan tentang program-program pembangunan sampai sasaran.

Menteri Dalam Negeri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Gamawan Fauzi, memberikan statemen penegasan atas pentingnya PKK dalam proses pembangunan. Menurutnya, PKK harus dilibatkan dalam musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Sebab, yang banyak tahu kebutuhan masyarakat adalah kader PKK di lapangan.

Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, juga sangat mengapresiasi gerakan PKK yang sigap mengambil inisiatif dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat. PKK dalam pembangunan wanita, selain sebagai wadah berorganisasi dan mengembangkan potensi, juga sebagai media menyalurkan aspirasi, gagasan, dan ide. Selain itu, juga sebagai media pembelajaran.

Kepedulian dan perhatian PKK terhadap tumbuh kembang anak usia dini, terutama terkait gizi yang sangat dibutuhkan, akan terus dikembangkan. Selain itu, kebutuhan anak di bidang iman dan takwa juga akan dilayani secara holistis dan optimal. Agar anak usia dini mendapatkan layanan PAUD Holistis-integratif, maka PKK merintis sepuluh ribu taman posyandu yang digagas Nina Soekarwo.

Di taman posyandu itu bukan hanya kesehatan yang bisa dikonsultasikan, pemberdayaan ekonomi keluarga, masalah pendidikan, penanganan gizi keluarga, perlindungan dari ancaman kekerasan, juga bisa dikonsultasikan dan dicarikan solusi.

Perlu diketahui pula, PKK mengemban fungsi advokasi bagi para korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Melihat banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terungkap dan semakin meningkatnya perempuan yang melaporkan masalahnya ke penegak hukum, PKK sangat prihatin. Upaya mengembangkan kualitas hidup perempuan pun dilakukan.

Menurut Sukarwo, PKK yang bisa mendengar suara yang tidak terdengar. Sebab, kader PKK-lah yang berada di desa dan selalu bergaul dengan masyarakat. PKK juga berperan sebagai motivator, fasilitator, perencana, pelaksana, pengendali, dan penggerak. Oleh karena ini, PKK menjadi satu-satunya organisasi di dunia yang memiliki jaringan terluas dan PKK-lah yang menerjemahkan pesan pembangunan oleh pemerintah hingga sasaran. Masihkah Anda menilai PKK sebelah mata?

Oleh QORIATUL ADAWIYAH
Penilik PNFl dan anggota TP PKK Kabupaten Banyuwangi

Related Posts:

Rumah Disita Bank, Bikin Rumah Pohon

TEGALDLIMO - Gara-gara rumah peninggalan orang tuanya disita bank, Dadang S, 30, warga Dusun Bayatrejo, Desa Wringin Pitu, Kecamatan Tegaldlimo, Banyuwangi, menjadi sebatang kara. Tiga kakak kandungnya yang kini menetap di Bali tidak mau mengakui dirinya sebagai saudara.

Bingung mencari tempat tinggal. Dadang nekat membuat rumah di atas pohon beringin di depan rumahnya. Bujangan itu tinggal di rumah panggung dengan ketinggian sekitar enam meter itu sejak dua tahun lalu. ”Rumah dan lahan disita bank," ujar Dadang.

Rumah Disita Bank, Bikin Rumah Pohon

Menurut Dadang, orang tuanya, yakni pasutri Parno dan Semi, sudah meninggal dunia belasan tahun lalu. Pasutri itu meninggalkan warisan berupa rumah dan lahan seluas seperempat hektare. "Rumah dan lahan itu oleh kakak-kakakku dijadikan agunan di bank," terangnya.

Dadang mengaku tidak tahu saat tiga kakaknya menjaminkan rumah dan lahan itu ke bank. Malah, dirinya dicoret dari kartu keluarga (KK) dan disebut bukan saudara kandung. "Saya tidak diberi apa-apa," katanya kepada Jawa Pos Radar Genteng.

Ironisnya, ketiga kakaknya itu tidak mampu membayar utang ke bank. Sehingga, rumah dan lahan yang dijadikan jaminan itu disita. "Saya tidak punya apa-apa, dan saya juga tidak punya saudara lagi," ungkapnya.

Saat rumahnya disita bank, Dadang sempat stres berat. Yang menyakitkan, ketiga kakaknya tidak mau mengakui dirinya sebagai adik. "Karena tidak punya apa-apa, saya pun membuat panggung di pohon beringin ini," cetusnya.

Pohon beringin yang dijadikan rumah dengan ukuran empat meter kali tiga meter itu berada di tepi jalan raya dan persis di depan rumah warisan orang tuanya. "Kasihan Dadang itu," kata Hariyanto, 30, salah satu warga setempat.

Rumah panggung di pohon beringin itu dibuat Dadang bersama Miskan, 40, tetangganya. Sebelum membuat rumah itu, dia minta izin kepada pemerintah desa. "Pemerintah desa mengizinkan karena mengetahui persis perjalanan hidupnya," ujarnya.

Seperti pada umumnya, rumah panggung yang didirikan Dadang itu dilengkapi peralatan memasak dan perabotan, seperti TV dan VCD. "Memasak juga di atas pohon ini menggunakan kompor gas," ungkapnya.

Dadang yang tinggal sendiri di rumah panggung itu pun mendapat simpati warga sekitar. Bujangan yang hanya tamat SM P itu dikenal mandiri sejak kecil. "Dulu tidak punya apa-apa, kini sudah bisa beli TV, VCD dan tape," cetus kata Roni, 46, warga lain.

Dadang oleh warga dikenal pemuda pekerja keras, tekun, dan telaten. Sehari-hari dia bekerja sebagai buruh kasar. Warga yang membutuhkan tenaganya terkadang sampai antre. "Kalau tidak pesan seminggu sebelumnya, pasti keduluan orang lain. Dadang itu kerjanya giat dan bagus,” terangnya. (RaBa)

Related Posts:

Ekspedisi Budaya ke Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo,Wongsorejo (11-Habis)

Fenomena Suara Tanah Pung-pung Hutan Tangkup

Fenomena Suara Tanah Pung-pung Bikin Penasaran

Selain memiliki potensi wisata yang menarik, kawasan Hutan Tangkup, Desa Watukebo, Desa Wongsorejo, juga menyimpan sejuta misteri. Salah satunya adalah suara tanah menggema jika dipukul.

Setelah melihat dari jauh pengerjaan mega proyek Waduk Bajulmati, tim ekspedisi menyempatkan diri mampir ke Tanah Pung-pung di kawasan hutan jati Tangkup. Lokasinya mudah di jangkau, tak jauh dari jalan umum.

Rombongan tim ekspedisi pun menuju hulan jati itu untuk melihat langsung misteri Tanah Pung-pung itu. Warga sekitar menyebut lahan tersebut Tanah Pung-pung karena jika dipukul memantulkan suara menggema. "Tidak jauh kok dari sini. Saya lupa bilang kalau di sini ada tanah yang menggema jika dipukul," kata Kadus Badolan, Jumadi, dibenarkan Nyoto. tim dari Wongsorejo.

Ternyata, letak tanah yang menggema tersebut tidak berada di tengah hutan, melainkan berada di dekat jalan makadam akses masuk ke dalam hutan. Awalnya, tim sempat tidak percaya dengan informasi bahwa tanah tersebut menggema jika dipukul.

Namun, setelah Jumadi dan Nyoto memukul tanah tersebut dengan batu, tim ekspedisi baru percaya. Ternyata memang benar tanah tersebut menggema setelah dipukul. "Mungkin tanah di bawah ini bolong. Makanya dipukul dengan batu langsung berbunyi pung-pung." ujar Gerda Sukarno, anggota tim ekspedisi dari Jawa Pos Radar Banyuwangi.

Tidak semua tanah di lokasi tersebut menggema jikadipukul. Ada juga bagian yang tidak menggema jika dipukul dengan batu. Bisa jadi tanah yang tidak menggema tersebut tidak berongga. "Hanya tanah tertentu saja yang menggema jika dipukul,” kata Jumadi.

Setelah mencoba memukul Tanah Pung-pung tim tercengang. Tanah tersebut memang menggema. Rasa penasaran pun muncul di benak seluruh anggota tim ekspedisi. Apakah ada lubang di bawah tanah tersebut ataukah tanah yang menggema tersebut ataukah ada gua. Selain Tanah Pung-pung, tim juga menemukan bebatuan menarik yang layak dijadikan akik. Setelah dipoles, batu-batu itu memang tak kalah menarik dengan batu-batu akik yang kini sedang diburu warga.

Tim tidak bisa memastikan apakah ada rongga di bawah tanah tersebut. Merunut di kawasan itu banyak ditemukan benda peninggalan kuno, bisa jadi di dalam tanah tersebut ada rongga sebagai lokasi perlindungan tempo dulu. Bisa saja ada bungker tempat menyimpan senjata. Bisa jadi pula lorong di bawah tanah itu merupakan "jalan tikus" yang digunakan prajurit kerajaan untuk perang gerilya melawan musuh.

Spekulasi-spekulasi pun muncul di benak tim ekspedisi. Namun, sekali lagi tim tidak bisa memastikan. Sebab, yang dilakukan tim sebatas ekspedisi, bukan penelitian. Jika ingin membuktikan, maka tidak ada jalan lain selain menggali Tanah Pung-pung tersebut. Hutan jati di Dusun Tangkup ini memang menyimpan banyak misteri. Banyak temuan-temuan menarik selama tim melakukan ekspedisi.

Kali pertama masuk hutan, tim ekspedisi banyak menemukan pecahan-pecahan tembikar dan porselen. Selanjutnya, tim menemukan fondasi batu bata besar yang tertimbun tanah. Tim ekspedisi juga menemukan sebuah gundukan tanah yang sangat presisi.

Gundukan tersebut diduga sebagai tempat persembahan. Kabarnya, warga sekitar yang sering keluar-masuk Hutan Tangkup juga sering menemukan uang kepeng. Tim ekspedisi juga menemukan potongan-potongan gigi yang berserakan di sekitar gundukan tanah tersebut. "Belum pasti apakah itu gigi binatang ataukah gigi manusia. Ini butuh penelitian mendalam oleh pakar. Yang pasti ukuran-ukuran gigi itu sangat besar," ujar MH. Qowim, salah satu anggota tim ekspedisi dari Jawa Pos Radar Banyuwangi. (RaBa)

Related Posts:

Sentra Kerajinan Putri Using Stone Carving

Sentra Kerajinan Putri Using Stone Carving

Modal Awal Rp 50 Ribu, Kini Omzetnya Rp 36 Juta Sebulan

Bakat adalah harta yang tidak ternilai harganya. Bakat yang tersalur dengan baik mampu mendatangkan keuntungan berlipat. Bukan hanya kepuasan batin, tapi juga materi. Seperti dialami Atim Ismail.

Patung berbentuk perempuan menggendong gentong air berdiri di tepi jalan Raden Wijaya, Kelurahan/Kecamatan Giri. Tidak jauh dari patung berukuran sekitar I,4 meter itu tampak beberapa balok menyerupai beton berwarna putih. Balok-balok tersebut berjejer di area yang berlokasi hanya beberapa meter di sebelah selatan perlintasan kereta api (KA) yang membelah Jalan Raden Wijaya tersebut.

Suara tok-tok-tok menyerupai orang memukul benda keras pun terdengar dari area itu. Belakangan diketahui, tempat itu merupakan tempat produksi patung plus berbagai ornamen rumah berbahan batu cadas.

Di pelataran sebelah selatan bangunan yang sekaligus dimanfaatkan sebagai gudang penyimpanan karya seni itu tampak dua pemuda tengah memahat patung. Tangan mereka begitu cekatan memainkan mata pahat untuk membentuk bagian demi bagian patung.

Ya, benda seni bernilai estetika tinggi itu benar-benar made in Banyuwangi. Tidak hanya dibuat di kabupaten berjuluk Sunrise of Java ini, para perajin pun merupakan putra daerah Bumi Blambangan, tepatnya asal Desa Kelir, Kecamatan Kalipuro.

Supri, 30, salah satu pemahat patung tersebut mengatakan, pemilik sentra kerajinan Putri Using Stone Carving itu berasal dari Desa Kelir. "Begitu juga dengan saya. Saya juga berasal dari Kelir," ujarnya.

Supri menuturkan, memahat patung berbahan cadas harus ekstra hati-hati. Sekali salah memahat, maka kesalahan itu tidak bisa diperbaiki. Sebab, batu cadas tidak bisa ditambal. "Karena harus ekstra hati-hati, pengerjaan satu patung setinggi 1,4 meter ini bisa membutuhkan waktu sampai sekitar satu pekan," ujarnya.

Tak lama berselang satu laki-laki yang mengendarai motor tiba di lokasi. Ternyata dia adalah sang pemilik pusat kerajinan patung tersebut. Dialah Atim Ismail alias Amang, 36.

Usut punya usut, Putri Using Stone Carving telah berdiri di Banyuwangi sejak sekitar empat tahun lalu. Awalnya, Amang membuka usaha di Bali. Kemudian, dia memindahkan usahanya dari Pulau Dewata ke Kelurahan Giri dengan alasan memudahkan kontrol. "Kedua anak saya sudah sekolah. Mereka juga mengaji. Begitu juga dengan karyawan kami. Jadi, saya pikir lebih baik membuka usaha di Banyuwangi. Saya bisa dekat dengan keluarga, dan mengontrol pekerjaan juga mudah," kata ayah dua anak tersebut.

Amang pun menceritakan awal perjalanannya hingga menjadi pengusaha patung dan ornament berbahan batu cadas. Awalnya, Amang bekerja sebagai pemahat di salah satu pengusaha patung di Bali.

Setelah tiga tahun bekerja, pada tahun 2000 dia memutuskan membuka usaha sendiri. Uang sebesar Rp 1,5 juta dia gunakan untuk menyewa lahan plus membuat bangunan tempat usaha.

Lantaran dananya cukup mepet, Awang hanya memiliki uang senilai Rp 50 ribu untuk modal awal usahanya. Uang Rp 50 ribu itu dia gunakan membeli dua balok cadas. Lama-kelamaan usaha yang ditekuni Amang itu berkembang.

Bahkan, dia mengaku tidak jarang melayani pesanan wisatawan mancanegara asal Eropa hingga Amerika Latin. "Tetapi, setelah membuka usaha di Banyuwangi, saya hanya melayani pesanan art shop di Bali. Sebab, jika melayani tamu asal luar negeri, pembayaran baru dilakukan saat pesanan diambil, dan itu membutuhkan waktu sampat empat bulan. Padahal, modal kan harus terus berputar," terangnya.

Menurut Amang, saat ini usaha miliknya itu berhasil memproduksi 12 patung dalam sebulan. Patung setinggi 1,4 meter dijual seharga Rp 3 juta. Jika dikalkulasi, omzet per bulan yang berhasil diraih mencapai Rp 36 juta.

Amang menuturkan, keterampilan memahat patung itu dia dapat secara otodidak. Dia mengaku memang memiliki bakat alami mematung. "Bahkan, saat masih SD, saya sering membuat patung dengan tanah liat,” kenang alumnus SDN 1 Kelir tersebut.

Seolah menegaskan pernyataan karyawannya, Amang mengatakan bahwa membuat patung berbahan cadas zero toleransi terhadap kesalahan. "Kalau salah tidak bisa diubah. Beda dengan patung berbahan semen, kalau salah masih bisa ditambal," kata dia.

Masih kata Amang, saat ini Banyuwangi getol mempromosikan pariwisata. Menurut dia, barang kerajinan, termasuk patung, bisa menjadi salah satu penopang pariwisata di kabupaten ujung timur Pulau Jawa ini.

Amang mengaku butuh wadah bagi para seniman seperti dirinya untuk memasarkan produknya. "Kami butuh wadah untuk bisa memasarkan karya kami secara langsung kepada konsumen. Kami berharap pemerintah memfasilitasi," pungkasnya. (RaBa)

Related Posts:

Pelantun Lagu Udan Awu Tutup Usia

Alif, Pelantun Lagu Udan Awu Tutup Usia

KABAT - Seniman Banyuwangi kembali berduka. Kali ini dunia seni kehilangan sosok penyanyi kendang kempul, Alif S. Penyanyi kendang kempul yang populer melalui tembang "Udan Awu" itu meninggal kemarin (3/4) di usia 57 tahun.

Setelah sekitar satu tahun berjuang dengan penyakit jantung, akhirnya penyanyi yang populer sampai awal tahun 2000- an itu meninggal di kediaman temannya di Dusun Kejoyo, Desa Tambong, Kecamatan Kabat.

Berdasar keterangan yang disampaikan sahabat Alif bernama Shella, almarhum tiba di rumahnya sekitar 22 hari lalu. Saat itu seorang tukang ojek dari Rogojampi mengantarkan Alif dalam kondisi sakit. Padahal, Alif memiliki saudara dan keluarga di Kecamatan Genteng. Tetapi, dia malah diantar ke rumahnya. "Kata tukang ojeknya, Alif minta diantar ke rumah saya. Katanya saya ini keluarganya. Iya benar saya ini teman yang seperti saudara," kata Shella ,46.

Selama 22 hari itu Shella membawa Alif ke puskesmas, termasuk menguruskan BPJS untuk temannya tersebut. Menurut dokter yang memeriksa Alif, pria yang juga mempopulerkan lagu "Cemeng-Cemeng Manggis" itu menderita penyakit jantung.

Shella mengatakan, Jumat (3/4) pukul 05.30 kemarin Alif batuk-batuk sebanyak dua kali. Saat itu kondisi kamar Alif masih gelap karena lampunya dimatikan, ketika Shella menghidupkan lampu, dia terkejut melihat mulut Alif keluar darah. "Melihat itu saya langsung berteriak memanggil orang-orang. Kemudian, banyak orang datang melihat Alif," kenang Shella.

Kemudian, jenazah Alif dikebumikan setelah salat Jumat sekitar pukul 13.30. Beberapa penyanyi kendang kempul yang sempat satu era dengan almarhum Alif, seperti Sumiyati, Kumala Dewi, Subari, Andi Lufti, dan Yuliatin, tampak mengiringi kepergian penyanyi bernama asli Khoirul Alif tersebut.

Ibunda Alif, Masratik Akim, 72, turut mengiringi jenazah hingga dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dusun Kejoyo, Desa Tambong. Sementara itu, ketika sakit, Alif sempat rekaman empat lagu. Dua lagu di antaranya sudah melalui proses pengambilan gambar video klip. Lagu-lagu tersebut berjudul "Tukang Becak, Kembut-kembut, Amin-Amin dan Malam Minggu"

"Rencananya Alif akan kita ajak nyanyi bareng di acara Gending Osing Banyuwangi tanggal 12 April nanti hersama penyanyi kendang kempul lama. Guna mengenang kepergian almarhum, kita akan menyanyikan lagunya Mas Alif," ujar Kumala Dewi, salah satu kerabat dan penyanyi kendang kempul. (RaBa)

Related Posts:

Ekspedisi Budaya ke Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo, Wongsorejo (10)

Waduk Bajulmati Banyuwangi

Lokasi penemuan benda-benda bersejarah di hutan jati Dusun Tangkup, Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo, berdekatan dengan lokasi pembangunan mega proyek Waduk Bajulmati. Jika nanti Situs-situs tersebut dirawat dengan baik, itung-itung bisa menunjang kawasan wisata Waduk Bajulmati.

Tanah di tengah hutan sudah ditemukan. Bahkan, tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi juga mendapatkan beraneka jenis batu akik di kawasan hutan jati milik Perhutani tersebut. Tidak tanggung-tanggung, batu akik yang ditemukan di hutan tersebut cukup berkelas.

Sebut saja badar emas, badar besi, pirus hijau, pirus hitam, dan pirus kura-kura. Di kawasan itu jugaditemukan kuburan tua yang diyakini makam Sayyid Abdullah.

Usai berburu akik dan nyambangi makam Sayyid Abdullah, tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi bergeser ke arah utara menuju mega proyek Waduk Bajulmati.

Ternyata menuju Waduk Bajulmati bisa dari arah selatan. Selama ini pengunjung yang hendak ke waduk selalu lewat jalur utara, yaitu jalan raya Baluran. "Saya baru tahu menuju waduk bisa melalui jalur selatan. Lebih dekat jaraknya," ujar Bayu Saksono, pimred Jawa Pos Radar Banyuwangi, yang ikut dalam ekspedisi.

Dari lokasi penemuan benda-benda kuno itu, jarak dengan waduk sangat dekat. Di Waduk Bajulmati tim sekadar melihat lihat proses pembangunan waduk itu dari sisi selaian. Di tengah terik matahari yang menyengat kulit, pekerja waduk sibuk bekerja. Alat berat pun sibuk berlalu lalang di area proyek itu untuk menyelesaikan pengerukan tanah yang belum selesai.

Pembangunan proyek waduk itu tampaknya masih belum selesai total. Jika nanti sudah kelar, waduk itu bisa mengairi berhektare-hektare lahan pertanian di Bumi Blambangan. Setelah puas melihat-lihat waduk tersebut, rombongan kembali menuju hutan.

Dalam perjalanan pulang. Direktur Jawa Pos Badar Banyuwangi Samsudin Adlawi menyebut, jika memang benar situs itu adalah sisa-sisa kerajaan Blambangan kuno, maka keberadaannya sangat strategis. Nanti Waduk Bajulmati bisa digunakan sebagai sumber irigasi bagi masyarakat sekitar. Selain itu, bisa diproyeksikan sebagai tempat wisata baru di Banyuwangi. "Selain wisata waduk, jika situs-situs ini memang benar kerajaan Blambangan nanti juga bisa dijadikan penunjang wisata waduk ini, yaitu wisata budaya," kata Samsudin.

Administratur Perhutani Banyuwangi Utara, Artanto, pun sangat mendukung jika situs-situs yang ditemukan tim ekspedisi itu dijadikan lokasi wisata budaya. Hal ini, lanjut Artanto, bisa menunjang wisata waduk. "Tentu kita mendukung, kalau sudah ada tim arkeolog yang meneliti tempat ini, segera tentukan tempat mana saja yang memang ada peninggalan situsnya, nanti akan kita mapping area," tandas Artanto. (RaBa)

Related Posts:

Jajal Ganasnya Ombak Laut Selatan

Batalyon Intai Amfibi TNI AL US MARSOC

PESANGGARAN - Batalyon Intai Amfibi (Yontaifib) Korps Marinir, TNI AL, dan prajurit US MARSOC, yang menggelar latihan bersama di Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Lampon, Desa/Kecamatan Pesanggaran, benar-benar uji nyali.

Setelah sukses menggelar latihan mendayung, dalam latihan lanjutan yang digelar di Pantai lampon kemarin (2/4) mereka menjajal keganasan Laut Selatan menggunakan perahu karet. "Satu perahu karet itu berisi anggota Marinir dan US MARSOC," cetus Komandan Yomaifib 1 Marinir, Letkol Marinir Freddy Ardianzah.

Menurut Freddy, menembus ombak tinggi di LautSelatan itu merupakan salah satu menu wajib yang harus dilakoni pasukan Marinir TNI AL. Sebab, itu menjadi keahlian khusus pasukan. "Setiap anggota korps Marinir wajib lulus menembus ombak," katanya.

Latihan menembus ombak menggunakan perahu karet itu bertujuan meningkatkan profesionalisme prajurit intai amfibi dan US MARSOC sebagai pasukan khusus. "Menembus ombak tersebut termasuk agenda khusus dalam latihan bersama,” ungkapnya.

Latihan bersama menembus ombak itu terlihat cukup seru. Meski para prajurit tersebut sudah biasa melakukan, tapi tidak sedikit yang perahunya terombang ambing saat melawan keganasan Laut Selatan. "Alhamdulillah semua selamat," ungkapmu. (RaBa)

Related Posts:

Ekspedisi Budaya ke Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo, Wongsorejo (9)

Tim Ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi

Setelah berburu batu akik di sungai Dusun Tangkup, Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo, tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi melanjutkan perjalanan menembus hutan jati ke arah timur. Di sana, tim menengok kuburan tua yang diyakini sebagai makam Sayyid Abdullah.

Di hutan jati di Dusun Tangkup, Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo, ini tim ekspedisi ternyata tidak hanya menemukan pecahan porselen, tembikar, uang kepeng, dan berbagai macam batu akik. Di hutan cersebui ternyata juga ada sebuah makam yang hanya ditandai dengan tumpukan batu hitam.

Orang-orang sekitar, bahkan orang Situbondo, kerap mengunjungi makam yang ditandai dengan tonggak kayu berukuran besar tersebut. Lokasi makam itu cukup sulit dijangkau, jalan menuju makam itu hanya bisa dilalui satu orang alias jalan setapak.

Kanan-kiri jalan menuju makam banyak tumbuhan berduri. Beruntung, tim membekali diri dengan senjata tajam jenis parang dan sabit. Andai tidak membawa sajam, rasanya sulit bisa sampai di makam tersebut. Butuh setengah jam dari jalan makadam menuju makam tersebut. "Kurang sedikit lagi kita sampai," kata Jumari, salah satu tim ekspedisi asal Kecamatan Wongsorejo.

Setelah berjalan cukup melelahkan, tim sampai di tempat yang dituju. Saat dicek lewat GPS telepon seluler posisi makam itu berada pada 320 BL, 7,924 Lintang Selatan dan 114,366 Bujur Timur. Sepintas memang bukan seperti makam. Sebab, batu nisan yang menandai makam tersebut berserakan begitu saja.

Di samping utara makam tersebut terdapat sebuah pohon besar. Di sekitar batu penanda makam tersebut banyak terdapat dupa dan sesaji bekas orang semedi. "Banyak yang semedi di sini. Dari luar kota juga banyak," kata Pak Kadus Badolan, Jumadi, meyakinkan.

Tidak lama setelah berbincang dan melihat sekitar makam, tepatnya pukul 10.30, datanglah seorang bersarung dan berpeci. Dia mengendarai motor. Ternyata orang berpeci tersebut adalah Kiai Ahmad Fanani. "Dia sering melakukan semedi di sini," tambah Jumadi.

"Assalamualaikum," ujar Kiai Fanani menyapa rombongan tim ekspedisi di sekitar makam. Kiai Fanani pun menyalami satu per satu seluruh anggota ekspedisi. “Sebelum ramai orang datang ke sini, saya sudah sering semedi di sini," aku Kiai Fanani.

Dia meyakini tempat tersebut adalah makam Sayyid Abdullah. Menurut Fanani, penentuan nama makam itu berdasar salat istikharah. "Orangnya tinggi besar, tidak berjenggot," aku Kiai Fanani.

Makam Sayyid Abdullah

Menurut dia, di lokasi tersebut ada tiga makam, yakni makam Sayyid Abdullah beserta anak dan istrinya. "Tidak tahu dia dari mana. Cuma dia bilang namanya Sayyid Abdullah," tambah Kiai Fanani.

Booming batu akik akhir-akhir ini juga mengakibatkan makam di dalam hutan itu ramai pengunjung. Banyak orang yang sengaja datang ke makam itu hanya untuk mencari batu-batu akik berkelas. Bahkan, Kiai Fanani juga sering mendapatkan batu-batu akik saat melakukan semedi di makam tersebut.

Ada berbagai macam batu yang didapat di sekitar makam tersebut secara mistis. Sebut saja pirus kura-kura, pirus hijau, pirus hitam, dan lain-lain. Kiai Fanani pun menunjukkan batu-batu yang didapat dari semedi kepada tim ekspedisi.

Wapimred Jawa Pos Radar Banyuwangi, Syaifudin Mahmud, Gerda Sukamo, dan Taufik Ferdiansyah, pun mendapatkan batu akik secara gratis dari Kiai Fanani. “Batu-batu yang saya kasih itu dapat di sekitar makam. Dulu dapatnya ya bongkahan. Ini sudah saya gosok," aku Kiai Fanani.

Demam batu akik memang sudah melanda siapa pun. Anggota tim ekspedisi pun banyak yang gila batu akik. Sampai-sampai tujuan awal tim mengorek informasi tentang makam tiba-tiba terlena dengan cerita batu akik dari Kiai Fanani.

Tim belum sepenuhnya yakin makam siapa di dalam hutan jati tersebut. Butuh kajian mendalam dari pakar arkeologi dan forensik untuk memastikan makam yang ditandai tumpukan batu dan tonggak kayu tersebut. (RaBa)

Related Posts:

SMKN Glagah Nominasi Adiwiyata Jatim

SMKN Glagah Nominasi Adiwiyata Jatim

GLAGAH - Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Glagah (Semegah) berlokasi di Jalan Kuntulan nomor 1 Banyuwangi Ini merupakan sekolah yang sudah memiliki ISO 9020. Sistem manajemen dan administrasinya sudah betstandar Internasional.

Di sisi lain Semegah memiliki tatanan ruang yang berkonsep ramah lingkungan. Tanaman ayoman hingga bunga-bunga tumbuh rapi. Hijau dan asri.Tidak salah kalau Semegah didapuk menjadi salah satu dari empat perwakilan Banyuwangi menjadi duta sekolah adiwiyata tingkat Provinsi.

Kemarin (1/4), tim penilai adiwiyata tingkat Jatim menyambangi sekolah yang dikepalai oleh H.Kusyairi. Tim yang berjumlah enam orang itu disambut dengan konsep pesta kebun oleh Semegah. Tujuannya, supaya suasana belajar siswa setiap harinya bisa dirasakan langsung oleh tim penilai Adiwiyata.

Kepala Semegah, H Kusyairi mengatakan, walau Semegah sedang melaksanakan sebagian renovasi ruangan tapi itu tidak mempengaruhi penilaian adiwiyata. Dirinya beserta seluruh guru dan komite, optimis bisa menyabet gelar adiwiyata tingkat provinsi.

Di waktu yang sama, Semegah juga melaksanakan istlgoshah bagi siswa kelas XII yang sebentar lagi akan mengikuti Ujian Nasional (UN). Istighosah itu dilakukan di Aula Semegah dan dilanjutkan dengan materi motivasi dari salah satu Alumnus Semegah, DR. Siswanto yang sudah sukses di dunia kerja. DR. Siswanto ini memiliki banyak perusahaan di bidang IT, Rent Car hingga Laundry. Diharapkan dengan motivasi tersebut siswa kelas XII nantinya menjadi lulusan Semegah yang siap bersaing dan menjadi manusia dahsyat di dunia kerja. (RaBa)

Related Posts:

Ekspedisi Budaya ke Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo, Wongsorejo (8)

Tim Ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi

Booming batu akik juga dirasakan warga Dusun Tangkup, Desa Watukebu, Kecamatan Wongsorejo. Selain menyimpan sisa peninggalan bersejarah, seperti tembikar dan pecahan porselen, di hutan jati dekat kawasan Waduk Bajulmati itu juga ditemukan bebatuan istimewa dan berkelas.

Batu akik saat ini memang sedang hangat diperbincangkan masyarakat berbagai lapisan. Mulai tukang becak, pedagang, hingga pejabat, sedang dilanda "mabuk" akik. Warga Banyuwangi juga sedang "demam" akik.

Selama menyisir hutan jati di Dusun Tangkup, tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi juga menemukan batu-batu yang bisa digunakan sebagai akik. Batuyangi ditemukan itu boleh dibilang berkelas. Tidak hanya di hutan jati.

Di sungai Tangkup di sekitar hutan jati juga sangat mudah dijumpai batu-batu yang bisa dijadikan akik. Tim ekspedisi pun tidak hanya mencari batu akik di dalam hutan.

Tim juga menyisir Sungai untuk sekadar melihat-lihat jenis batu akik di sungai tersebut. Sekilas batu-batu di sungai tersebut sama halnya batu yang pernah ditemukan di sungai lain. Tapi yang bikin kami heran, tim ekspedisi lokal Wongsorejo malah memungut batu-batu tersebut.

Ternyata batu-batu tersebut bisa dijadikan batu akik. Uniknya lagi, jok motor milik tim ekspedisi asal Wongsorejo juga penuh batu yang diambil di sungai tersebut. "Sekilas memang seperti balu biasa. Tapi kalau digosok nanti ini jadi virus hitam" kata Kepala Dusun Badolan, Jumadi.

Batu Meteor

Jenis batu yang ditemukan juga tidak hanya satu, melainkan banyak, jenis-jenis batu tersebut adalah meteor, badar emas, pirus hitam, badar besi, batu gambar, blue safir, kecubung ireng, batu wisnu, dan lain-lain. “Badar emas dan pirus hitam di hutan ini terkenal di kalangan pecinta batu," kata Ubaidillah, pakar batu akik asal Dusun Krajan, Desa Wongsorejo, Kecamatan Wongsorejo, yang ikut tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi.

Pria yang akrab disapa Bang Obet itu menuturkan, batu badar emas yang ditemukan di hutan jati Dusun Tangkup itu lain daripada badar emas yang ditemukan di daerah lain. Yang menjadi ciri khas badar emas di hutan jati ini terletak pada kombinasi corak emasnya. "Badar emas yang ditemukan disini corak emasnya lebih muda. Itu yang bikin mahal. Saya saja pernah jual satu cincin Rp 2 juta,” ungkap Bang Obet.

Bahkan, di sungai Tangkup tersebut terdapat batu berwarna merah yang masih belum bisa diangkat karena ukurannya sangat besar. Katanya, batu tersebut nantinya kalau sudah digosok memiliki daya jual cukup tinggi karena batu tersebut sangat unik. "Itu namanya batu wisnu. Kalau sudah digosok sekilas warnanya hitam, tapi kalau terkena sinar warnanya jadi hijau," tambah Bang Obet.

Wapimred Jawa Pos Radar Banyuwangi, Syaifuddin Mahmud, beruntung kala itu. Saat menelusuri sepanjang Sungai Tangkup, dia menemukan batu berukuran kecil berwarna hijau. Setelah ditanyakan kepada pakar akik, batu yang ditemukan tersebut merupakan jenis jamrud. "Alhamdulillah dapat jamrud," ujar pria yang akrab disapa Aif itu.

Adanya temuan batu jamrud tersebut semakin membuat anggota ekspedisi lain bersemangat mencari batu di sungai tersebut. Seluruh kepala anggota tim ekspedisi pun tertunduk melihat sungai berharap menemukan batu lain yang bisa dijadikan akik. "Ini batu meteor,” ujar Jumari, salah satu anggota tim ekspedisi sembari menunjukkan batu berwarna hitam pekat mengkilat.

Alhasil, sekitar satu jam lebih menyusuri Sungai Tangkup, seluruh anggota tim ekspedisi tidak pulang dengan tangan hampa. Hampir seluruh anggota tim ekspedisi membawa pulang batu beragam jenis dari Sungai Tangkup tersebut. Jenis batu yang kita bawa itu bukan batu ecek-ecek, bisa dibilang batu berkualitas.

Sementara itu, banyaknya batu-batu akik yang kita temukan di hutan dan Sungai Tangkup tersebut kita memprediksi batu-batu tersebut berasal dari Gunung Baluran yang pernah meletus.

Menurut, MH. Qowim, salah satu anggota ekspedisi, menyebut batuan yang banyak ditemukan di hutan Tangkup tersebut adalah batuan beku yang bersifat masif. Batuan tersebut bernama obsidian. Obsidian adalah batuan yang sangat mirip kaca. "Jadi yang orang-orang sebut sebagai batu meteor, jamrud, dan wisnu itu sebetulnya obsidian. Itu adalah salah satu jenis batuan beku yang berasal dari lava gunung meletus," katanya.

Lebih jauh peneliti bahasa Oseng itu menjelaskan, batuan beku atau igneous rock merupakan batuan yang terbentuk dari pembekuan lava, baik secara ekstrusif (di atas permukaan bumi) maupun intrusif (dibawah permukaan bumi). Proses pendinginan lava tersebut nanti akan mempengaruhi tekstur dan struktur batuan.

Selain baluan padat, menurutnya, di hutan Tangkup juga ditemukan baluan beku jenis scoriaceous dan flow-structure. Scoriaceous adalah batuan beku terdapat lubang-lubang tidak teratur. Sedangkan flow-structure adalah batuan yang telihat adanya kesejajaran mineral yang menunjukkan struktur aliran. Dibandingkan obsidian, batuan scoriaceous lebih banyak ditemukan di Hutan Tangkup. Kalau dicari secara serius, MH. Qowim menduga, mungkin semua jenis batuan beku yang berasal dari lava gunung melelus akan ditemukan di lokasi tersebut.

Namun demikian, menurutnya, yang lebih penting setelah batuan-batuan Itu diteliti oleh ahlinya adalah apakah gunung meletus tersebut yang meluluhlantakkan kerajaan Blambangan kuno di sana? Ataukah kerajaan tersebut telah pindah lebih dulu sebelum gunung tersebut memuntahkan lava.

MH. Qowim memberikan satu analogi sederhana yang bisa membawa kita menemukan konklusi. Menurutnya, di hutan Tangkup tersebut banyak ditemukan pecahan porselen dan tembikar. Bahkan, tidak sedikit batuan beku yang menempel di bagian atas tembikar dan porselen tersebut. Logikanya, kalau kerajaan itu pindah sebelum gunung meletus, maka tidak akan ditemukan banyak pecahan tembikar dan porselen. Sebab, porselen waktu itu merupakan barang mewah. Kemungkinan besar barang-baang itu akan dibawa mengungsi.

"Kalau batuan beku sampai menempel di bagian atas porselen, berani porselen itu belum dipindah. Dengan kata lain, saat lava itu menyapu, di lokasi lersebut masih banyak manusia bersama barang-barangnya. Tetapi, ini dugaan, silakan ahlinya yang memastikan," pungkas editor bahasa Jawa Pos Radar Banyuwangi itu. (RaBa)

Related Posts:

Mengintip Stan Unik Peserta Banyuwangi Art Week

Mengintip Stan Unik Peserta Banyuwangi Art Week

Festival Banyuwangi Art Week sudah digeber sejak Sabtu (28/3). Sedikitnya ada 40 stan yang ikut memeriahkan pameran UKM (usaha kecil dan menengah) tersebut. Diantara puluhan stan itu ada yang paling unik, yaitu stan milik Prabowo Kustiyadi. Unik karena ornamen stan milik Prabowo itu serba bambu.

Stan utama milik Prabowo itu sebenarnya sama dengan stan utama peserta lain, yakni terdiri atas tenda biasa yang disangga empat tiang. Hanya saja, pria berusia 48 tahun itu mampu menyulap tenda sederhana tersebut menjadi lebih berseni dan unik. Hampir semua perangkat yang melengkapi stannya itu terbuat dari bambu. Misalnya, dinding pembatas stan terbuat dari potongan bambu yang diatur menjadi penutup tenda.

Di sisi i lain ia memasang tirai yang juga terbuat dari bambu. Begitu juga perabotan di dalam tenda berukuran 4x4 meter tersebut. Selain meja dan kursi, lemari penyimpan produk makanan khas yang dia jual juga dibuat dari bambu. Uniknya, lemari tersebut merupakan bekas kandang ayam. Tentu kandang ayam yang telah melewati proses pembersihan sebelumnya.

"Wah, ini kandang ayam yang sudah tidak terpakai. Saya cuci dulu sebelum dipakai," katanya.

Ternyata dari sekian banyak perabot unik yang berada di stan tersebut, Prabowo mengakui banyak perabot yang merupakan hasil pinjam. "Ini kandang punya teman. Angklung yang di luar itu juga. Kalau meja dan kursi ini punya bude saya," jelas pria yang memiliki tiga anak tersebut.

Prabowo memang berusaha meminimalkan pengeluaran dalam mengikuti pameran yang digelar untuk UKM itu. Ia menyadari, menjadi peserta dalam ajang pameran apa pun, peserta harus sanggup mengeluarkan biaya sesuai konsep pameran yang diinginkan.

“Ya namanya peserta harus siap mengeluarkan biaya. Namun, usaha menghemat harus tetap ada. Susahnya ya bagaimana caranya meminimkan pengeluaran tapi konsep tetap tercapai," ceritanya.

Dalam meminjam barang pun ia tidak sembarangan. "Saya pilih teman-teman yang benar-benar legawa. Karena kan barangnya saya pinjam untuk waktu lama," katanya lagi.

Keunikan lain terlihat dalam penataan produk. Kue bagiak miliknya digantung di langit-langit menggunakan tas mini yang terbuat dari anyaman bambu.

Sekilas dari luar tidak terlihat yang dij ual adalah kue kering khas KotaGandrung. Diatas gantungan kue-kue tersebut ada lampu berwarna kuning dilengkapi kemarang setengah jadi. "Lampunya saya pilih warna kuning. Agar suasana alam lebih menyatu," ujar Prabowo menjelaskan terkait pilihan warna lampu.

"Orang-orangan sawah" yang dipajang di luar stannya juga sering mencuri perhatian orang-orang yang lewat. Jawa Pos Radar Banyuwangi beberapa kali melihat pengunjung minta izin kepada Prabowo untuk foto bersama "orang-orangan sawah" tersebut. "Ini saya terinspirasi dari jarangnya orang-orangan sawah ini kini muncul di sawah," katanya.

Prabowo mengaku membutuhkan waktu sebulan untuk mempersiapkan semua itu. Begitu panitia memutuskan mengusung tema bambu, ia segera hunting barang-barang yang terbuat dari bambu. Sebisa mungkin ia memanfaatkan barang yang sudah ada meski tampaknya tidak bisa berfungsi dengan baik. Namun, berkat sentuhan tangan dinginnya, sejumlah barang bekas tersebut kembali memiliki fungsi dan penampilan yang lebih bagus.

Ranting-ranting bambu yang berserakan pun tidak luput dari kreasinya. Ranting itu kini menjadi penghias tenda. Selama sebulan Prabowo mencari bambu ke berbagai tempat, di antaranya Kalipuro, Sobo, dan Bakungan. Ia tidak menghitung berapa rupiah yang ia keluarkan untuk membeli bambu.

Prabowo berprinsip, ragam kreasi itu semata-mata demi mempromosikan Banyuwangi. Pihaknya bertanggung jawab dengan apa yang telah dikerjakan. "Jadi harus all out. Sebagai Lare Oseng saya ingin menampilkan potensi milik Banyuwangi, di antaranya menjual kue khas dan stan yang terbuat dari bambu ini," tandasnya. (RaBa)

Related Posts:

Ekspedisi Budaya ke Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo, Wongsorejo (7)

Potongan gigi temuan tim ekspedisi

Hutan jati Dusun Tangkup, menyimpan banyak misteri. Setelah menemukan gundukan tanah yang diduga sebagai tempat pemujaan, tim ekspedisi menemukan protolan gigi berukuran besar.

Potongan gigi ini banyak ditemukan di semak berduri. Sama seperti temuan tembikar, porselen, uang kepeng, gigi-gigi itu ditemukan berserakan di atas tanah yang dipenuhi semak belukar.

Semula tim mengira ini potongan gigi manusia pada zaman dulu. Karena ukurannya terlalu besar, tim ekspedisi pun diliputi rasa penasaran. Apakah itu gigi manusia ataukah hewan belum terjawab. “ Giginya kok besar ya, apa ini gigi manusia zaman dulu atau gigi hewan?" ujar Gerda Sukamo, salah satu anggota tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-BaRa) yang pertama kali menemukan potongan gigi tersebut.

Di sekitar gundukan yang diketahui bernama Gunung Lemah tersebut ternyata lebih banyak gigi yang ditemukan. Bahkan, tim ekspedisi menemukan potongan-potongan gigi yang masih utuh dan menancap pada gusi. "Ini gigi graham sepertinya, giginya besar-besar,"timpal Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi, Samsudin Adlawi.

Pada tulisan sebelumnya dibahas tentang gundukan yang mencurigakan. Dicurigai karena bentuknya sangat presisi dan sepertinya sengaja dibuat oleh manusia. Kali ini tim mendapat informasi bahwa gundukan tersebut dulu kerap digunakan sebagai tempat ritual warga setempat jika panen raya tiba.

Warga sekitar mengadakan ritual menyembelih sapi, kemudian mengubur kepala sapi yang telah disembelih itu di atas gundukan tersebut. Jika cerita itu memang benar, bisa saja gigi-gigi yang ditemukan tersebut adalah gigi kepala sapi yang dikubur warga pada zaman dahulu. Tetapi, itu hanya spekulasi awal berdasar temuan dan informasi yang didapat tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi yang dibantu warga sekitar dan pihak Perhutani.

Yang jelas, jika gigi tersebut dianggap gigi manusia, tampaknya sangat tidak mungkin. Sebab, gigi yang ditemukan tim ekspedisi tersebut sangat besar. Satu gigi graham yang ditemukan ukurannya setara jempol tangan manusia dewasa. "Bisa jadi itu adalah gigi kerbau. Karena dulu memang ada orang yang mengubur kepala kerbau di gundukan itu," kata ADM Perhutani Banyuwangi Utara, Artanto, meyakinkan.

Kepala Dusun Badolan, Desa Bajulmati, Jumadi, menduga itu adalah gigi binatang. Memang benar di atas gundukan tersebut pernah dilakukan ritual mengubur kepala sapi. Bisa jadi itu gigi sapi yang dikubur warga usai melakukan ritual panen raya. "Dulu memang ada orang sekitar yang melakukan ritual itu. Gigi yang kita temu kan itu mungkin ya gigi sapi itu," kata Jumadi diamini Nyoto, anggota tim ekspedisi yang lain.

Sementara itu, MH. Qowim, salah satu anggota ekspedisi, menyebut gigi yang ditemukan tersebut memang gigi asli. Maksudnya, gigi itu bukan gigi sintesis atau gigi mainan yang sengaja ditebar orang di lokasi tersebut. Apalagi, ada gigi graham yang ditemukan masih menancap di gusi yang telah membatu. Lokasi penemuannya sekitar satu kilometer dari Gunung Lemah.

Namun demikian, dia tidak bisa memastikan apakah gigi-gigi yang ditemukan tersebut merupakan gigi manusia ataukah gigi hewan. Yang jelas, MH. Qowim mengaku pesimistis jika gigi gigi tersebut dianggap gigi manusia. Sebab, gigi gigi yang ditemukan tersebut berukuran terlalu besar bagi ukuran manusia.

Secara pribadi dia menyimpulkan, gigi tersebut bukan gigi manusia. Menurutnya, sangat mustahil gigi-gigi sebesar itu adalah gigi manusia. Tetapi, juga tidak bisa serta mena gigigigi itu disebut sebagai gigi hewan. "Semua itu harus diteliti oleh ahli forensik dulu, bukan ahli sejarah. Sebab, meski menyangkut masa lalu, tapi yang berkompeten terkait gigi adalah ahli forensik," katanya.

Lebih jauh MH. Qowim mengajak masyarakat menyerahkan sesuatu hal kepada ahlinya. Meskipun yang dibahas adalah masa lampau yang berhubungan dengan sejarah. Tetapi, tidak semua hal di masa lampau itu bisa dibedah dengan ilmu sejarah. Menurutnya, sama dengan masa sekarang, masa lampau juga memiliki peradaban yang kompleks. Di masa lampau juga ada sistem pertanian, ekonomi, politik, sosial, religi, pertahanan, bahasa, arsitektur, dan lain-lain. Semua itu adalah disiplin ilmu yang berbeda-beda. "Artinya, semua hal itu harus dibedah dengan ilmu yang sesuai, tidak bisa dibedah dengan satu alat bernama ilmu sejarah semata,” tegasnya.

Kembali ke temuan gigi, MH. Qowim menerangkan sedikit tentang gigi sapi. Menurutnya, berdasar buku yang pernah dia baca, geraham sapi terdiri atas dua belas gigi. Rinciannya, 3 gigi geraham kiri atas, 3 gigi geraham kiri bawah, 3 gigi geraham kanan atas, dan 3 gigi geraham kanan bawah. Gigi sapi dewasa lebih besar daripada gigi manusia.

Berdasar bentuknya yang sangat besar itu, MH. Qowim menduga, kemungkinan besar gigi-gigi yang ditemukan tim ekspedisi itu adalah gigi hewan sejenis sapi. Sebab, meskipun manusia juga sama-sama memiliki gigi graham, tapi graham yang ditemukan itu ukurannya tidak lumrah. "Tetapi, sekali lagi itu perlu dipastikan oleh ahli forensik. Bisa saja itu memang gigi hewan. Tapi bisa jadi juga itu gigi manusia zaman lampau. Sebab, gigi-gigi itu ada yang ditemukan masih menancap pada gusi yang telah membatu. Berarti sudah lama sekali. Bisa jadi gigi manusia saat ini dan zaman dulu berbeda. Itu ahli forensik yang bisa meneliti." pungkas peneliti bahasa Oseng itu. (RaBa)

Related Posts:

Melihat Budi Daya Semut Angkrang di Desa Kembiritan

Ridwan: Budi Daya Angkrang Kroto

Bisnis tanpa Modal, Dapat Informasi dari Google

Telur semut angkrang atau lebih dikenal dengan nama kroto biasanya didapat dengan cara mencari di sarang semut di pepohonan. Namun, Ridwan, 38, warga Dusun Temurejo, Desa Kembiritan, Kecamatan Genteng, mencoba beternak semut angkrang di rumahnya. Hasilnya ternyata cukup lumayan.

Rumah Ridwan di RT 1, RW 3 Dusun Temurejo, Desa Kembiritan, Kecamatan Genteng, terlihat sederhana dan berhadapan dengan sawah. Siang itu di sekitar rumah itu terlihat sepi.

Belum lama berdiri, dari dalam rumah terlihat pria tinggi yang tubuhnya sedikit kurus. Setelah sempat ngobrol sesaat, pria yang tidak lain bernama Ridwan itu langsung mengajak Jawa Pos Radar Genteng ke sebuah ruangan di belakang rumah. Ruang yang seperti kandang ayam itu berdinding anyaman bambu.

Di ruangan itu terdapat dua rak yang diberi penyangga. Setiap kaki penyangga diberi gelas berisi air. Ratusan botol bekas minuman kemasan dan stoples plastik tertata rapi di atas rak itu. Kawanan semut berwarna merah kecokelatan teriihat berkerumun di dalam botol tersebut.

Inilah kandang semut angkrang yang dibudi daya Ridwan sejak dua tahun lalu. Wawan, sapaan Ridwan, memang memiliki kegiatan sampingan menjadi peternak semut angkrang. Angkrang mempakan semut penghasil kroto sebagai makanan pokok burung.

Saat sedang musim, Wawan bisa menjual kroto sekitar 1,5 kilogram (Kg) setiap dua pekan sekali. Harga kroto mulai Rp 80 ribu per kilogram hingga Rp 100 ribu per Kg. "Hasilnya cukup lumayan." katanya.

Wawan memulai aktivitas budi daya semui angkrang setelah kesulitan mencari kroto di alam terbuka. Saat itu dia mulai berpikir kemungkinan menghasilkan kroto tanpa harus bersusah payah mencari di hutan atau blusukan ke ladang milik warga. "Saya buka Google, ternyata angkrang bisa di ternak," ujarnya.

Berbekal keterangan yang diperoleh di internet itu, Wawan segera memulai. Tahap pertama dia menyiapkan tempat untuk koloni angkrang. "Saya siapkan tempatnya dulu dari botol bekas minuman kemasan dengan dilubangi," jelasnya.

Untuk menghindari kemungkinan semut angkrang berkeliaran ke rumah. Wawan menaruh setiap kaki penyangga rak diberi gelas dan botol yang berisi air. Dengan demikian, angkrang tidak bisa keluar dari lokasi tersebut. Tapi, angkrang juga ada yang nekat menyeberangi air. "Saya lupa memberi pakan, angkrang keluar," ujarnya.

Setelah lokasi untuk sarang disiapkan, langkah selanjurnya adalah mencari semut angkrang di alam. Setelah dapat, ditaruh di tempat yang sudah disiapkan itu. Dengan sendirinya, angkrang akan membuat sarang di dalam botol tersebut. "Mereka akan membuat sarang sendiri, rumahnya dari dalam tubuhnya angkrang," jelasnya.

Angrang yang paling baik itu, ternyata yang membuat sarang di pohon, bukan di pucuk pohon. Semut angkrang yang berada di pohon, itu biasanya memiliki telur yang banyak. "Ada tiga jenis angkrang, dari ketiga jenis itu hanya satu yang bisa diternakkan," terangnya sambil menyampaikan angkrang yang bisa diternak itu yang telurnya paling kecil.

Modal yang dikeluarkan untuk memulai ternak angkrang ini tidak terlalu tinggi. Malahan, saat memulai tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. "Botol banyak berserakan, kalau beli harganya itu antara Rp 300 sampai Rp 500 per botol," ungkapnya.

Suami Puji Atutik itu menyampaikan dalam budi daya ini asap rokok dan aroma dapur, termasuk penghambat poses perkembangbiakan semut angkrang. "Asal jangan sampai ada asap rokok atau aroma bumbu," katanya.

Jika usaha ini dijadikan kegiatan serius, sebenarnya cukup menjanjikan. Sebab, permintaan pasar cukup tinggi dengan banyaknya peminat hnhi burung. Selain itu, penggila pancing juga membutuhkan kroto untuk umpan." Bisa dijadikan sampingan, tapi cukup lumayan jika serius," cetusnya. (RaBa)

Related Posts:

Muhammad Farid, Pendiri Banyuwangi Islamic School

Muhammad Farid, Pendiri Banyuwangi Islamic School

Karena Wasiat Kiai As’ad

Bagi kalangan pendidikan dan perusahaan di Banyuwangi, nama Muhammad Farid, tentu sudah tidak asing lagi. Dia sering menjadi trainer dan motivator di sejumlah lembaga pendidikan dan perusahaan.

Apalagi jika menjelang ujian nasional (unas) dia sering diminta untuk mengisi training dan motivasi spiritual kepada para siswa. "Kalau sudah mendekati unas, kadang seminggu sekali dan juga setiap hari mengisi training," ujarnya.

Selain menjadi trainer dan motivator, Farid kini juga terikat kontrak dengan beberapa sekolah untuk menjadi konsultan pendidikan. Di antaranya di Kota Bekasi, serta beberapa sekolah di Banyuwangi dan Situbondo.

Dalam menjalankan perannya sebagai konsultan pendidikan tersebut, bapak dengan tiga anak ini lebih banyak memberikan pendampingan sistem pendidikan dan manajemen keuangan sekolah.

Untuk wilayah Banyuwangi, Ketua Ikatan Santri dan Alumni Salafiah Syafi'iyah (IKSASS) Rayon Banyuwangi, ini langsung memberikan bimbingan secara langsung dengan turun ke lokasi sepekan sekali. "Sedangkan unluk luar Banyuwangi, dia akan memberikan konsultasinya via telepon, namun sebulan sekali datang ke lokasi," ujar Farid.

Bila menilik kebelakang, tentu apa yang dijalani Farid saat ini sama sekali menyimpang background pendidikannya. Maklum, dia bukanlah seorang sarjana pendidikan.

Gelar strata satu (S1) dia peroleh dari Institut Agama Islama Ibrahimy, Sukorejo, Situbondo, dari Fakultas Syari’ah jurusan Mu'amalah yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pendidikan.

Hal inilah yang pernah membuat heran Andy F Noya, pemandu acara Kick Andy di stasiun Metro TV pada 2012 lalu. "Saya ditanya, tidak ada latar belakang pendidikan kok berani mendirikan lembaga pendidikan," tuturnya menirukan pertanyaan Andy F Noya itu.

Farid menuturkan, ketertarikannya menekuni dunia pendidikan semata hanyalah hobi dan lahan untuk mengabdikan diri kepada masyarakat, sekaligus ingin menjalankan wasiat pengasuh kedua Pesantren Salafiah Syafi'iyah, Sukrejo, Situbondo, almarhum Kiai As'ad Syamsul Arifin. "Alasan saya itu aja," pungkasnya.


Dulu Jadi Cibiran, Sekarang Jadi Jujukan

Gagasan Farid dan seorang rekannya, Suyanto mendirikan BIS pada 2005 silam, kini benar-benar bisa dilihat dan dirasakan hasilnya. Lembaga pendidikan yang dulunya sempat dicibir banyak orang, kini justru menjadi jujugan study banding.

Banyak sekolah dan perguruan tinggi dari Banywangi maupun luar daerah, yang berkunjung ke BIS untuk mengetahui sistem pembelajaran yang dilakukan di sekolah ini.

Beberapa perguruan tinggi negeri yang sempat melakukan kunjungan study banding, di antaranya Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta. Universitas Negeri Yogjakarta (UNJ), Universitas Jember (Unej) dan sejumlah perguruan tinggi ternama lainnya.

Selain menjadi jujugan study banding, BIS juga sering dikunjungi mahasiswa untuk melakukan penelitian. Terutama yang akan membuat skripsi dan tesis. "Alhamdulillah sekarang sudah dikenal banyak orang," tuturnya.

Meski sudah dikenal banyak orang dan menjadi jujugan study banding, Farid tidak puas begitu saja untuk berkarya. Kini dia mulai mengembangkan hal baru lalu yang masih berkaitan dengan pendidikan. Yaitu ekonomi mandiri berbasis sekolah. Dia memanfaatkan jaringan di organisasi Ikatan Santri dan Alumni Salafiyah Syafi'iyah (IKSASS) yang berada seluruh Nusantara.

Untuk saat ini kerjasama yang sudah terbangun adalah IKSASS Banyuwangi dan IKSASS DKI Jakarta di bidang ekonomi. "Kita mendirikan sejumlah usaha di lembaga-lembaga pendidikan milik alumni. Sehingga ke depan lembaga milik alumni ini bisa mandiri dan tidak terlalu tergantung dengan bantuan dari pihak manapun," ujarnya.


Belajar Tanpa Ruang, Sekolah Bayar Sayur

Muhammad Farid, 38, owner Banyuwangi Islamic School (BIS) yang beralamat di Villa Alam Asri, Desa Genteng Kulon, Kecamatan Genteng, terbilang sosok guru muda yang berani mengambil langkah berbeda dalam mengelola lembaga pendidikan.

Sejak 2005 silam, alumni Pondok Pesantren Salafiah Syafi'iyah, Sukorejo, Situbondo, itu mendirikan BIS yang mengelola Pesantren Alam, serta pendidikan formal SD, SMP dan SMA Alam.

Namun, dalam mengelola lembaga pendidikannya tersebut, dia memilih jalan yang berbeda. Para siswa di sekolah tersebut tidak berseragam sebagaimana umumnya. Selain itu, bagi murid yang tidak mampu dibebaskan membayar biaya semampunya, termasuk membayar sayur.

Sehingga, pada awal-awal berdirinya SD/SMP Alam, banyak wali murid yang kurang mampu menyekolahkan anaknya dengan membayar sayur. Mereka membawa palawija dan beras untuk dibawa ke asrama BIS.

Sistem pembelajaran di BIS juga berbeda. Misalkan para siswa yang sekolah di BIS belajarnya di ruang terbuka atau tidak di dalam kelas. Dalam belajar, para siswa dipersilakan mencari tempat sendiri dengan cara berkelompok masing-masing 10 orang.

Mereka dipandu untuk membuat game pembelajaran dan membuat buku pelajaran metode mind mapping.

Sehingga setiap harinya, tidak ada proses kegiatan belajar dan mengajar di ruang kelas. Hanya sesekali saja mereka melakukan kegiatan di dalam ruang aula pesantren, untuk presentasi hasil produk belajar masing-masing kelompok.

Kontan saja, model pembelajaran yang digagas Farid dan seorang rekannya, Suyanto, ini awalnya dianggap aneh. Bahkan sempat mendapat cibiran dari banyak pihak. Sebab, dianggap keluar dari pakem pembelajaran yang sudah ada.

Namun, seiring berjalannya waktu, ternyata Farid dan Yanto mampu menunjukkan basil yang cukup memuaskan. Banyak lulusan SD/SMP Alam yang berprestasi.

Kebanyakan lulusan siswa SD/SMP Alam mampu menguasai beberapa bahasa. Terutama bahasa Inggris dan Arab. Bahkan mereka banyak menjadi trainer di beberapa sekolah. "Siswa kita banyak yang menjadi asisten guru bahasa Inggris dan Arab di beberapa sekolah lanjutan," kata Farid.

Bukan itu saja, selama menjalani pendidikan di BIS, banyak siswa yang dikontrak untuk mengisi training English Fun, Math Fun, Super Memory, dan mind maping, ke sejumlah sekolah di Jawa maupun luar Jawa. "Misalkan bulan April ini ada 15 anak yang dikontrak di Kota Bekasi untuk mengisi training," tuturnya.

Banyaknya siswa yang berprestasi dan mampu mengembangkan potensi dirinya inilah, kemudian mulai mengundang perhatian banyak pihak untuk menyekolahkan anaknya ke SD/SMP Alam.

Sehingga selain siswa yang tidak mampu, kini banyak anak-anak pengusaha dan pejabat baik dari Banyuwangi maupun luar daerah yang kemudian memasukkan anaknya belajar ke BIS. "Bahkan anaknya Kasi TK dan Paud Dinas Pendidikan Jawa Timur juga disekolahkan ke sini," sebutnya.

Meski demikian, Farid menegaskan, bahwa sekolah di BIS tidak membatasi siapapun untuk masuk. Para siswa yang berasal dari ekonomi lemah dan bisanya membayar sayur tetap diprioritaskan. (RaBa)

Related Posts:

Ekspedisi Budaya ke Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo, Wongsorejo (6)

Tim Ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-RaBa)

Selain menemukan sisa lava, tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-RaBa) juga dikejutkan adanya gundukan tanah di tengah hutan jati. Melihat bentuk gundukan yang sangat presisi tersebut, diduga dulunya digunakan sebagai tempat pemujaan.

Selain panas matahari yang sangat terik, medan menuju lokasi gundukan di hutan Dusun Tangkup, Desa Watukebo, KecamatanWongsorejo cukup berat. Tumpukan rumput-rumput dan semak belukar yang sangat lebat di dalam hutan tidak menjadi halangan tim ekspedisi untuk terus melanjutkan perjalanan.

Duri-duri rumput yang tajam menjadi tantangan tersendiri bagi tim ekspedisi. "Durinya nempel di kaki, rasanya gatal," kata Pemimpin Redaksi Jawa Pos Radar Banyuwangi, Bayu Saksono sembari mencabut duri kecil yang menancap di kakinya.

Meski medan cukup berat, seluruh anggota tim ekspedisi tetap berjalan saja ke tengah hutan untuk mendapatkan temuan-temuan lain. Jika sebelumnya tim menemukan beberapa pecahan-tembikar, porselen, dan batu bata besar di sekitar hutan, kali ini tim menemukan dua buah gundukan yang mencurigakan di tengah hutan jati milik Perhutani tersebut.

Bentuk gundukan sangat presisi dan tertata jika kita lihat dari bawah. "Sepertinya gundukan itu terbentuk karena buatan manusia," duga Direktur JP-RaBa, Samsudin Adlawi yang ikut dalam rombongan tim ekspedisi.

Selain karena bentuk dari gundukan yang ada di dalam hutan tersebut, dugaan Samsudin tersebut mencuat karena di sekitar gundukan tersebut kita lebih banyak lagi menemukan pecahan-pecahan porselen, tembikar dan temuan batu bata merah. Bisa jadi, gundukan tersebut dulunya dijadikan sebagai tempat pemujaan atau tempat peribadatan pada zaman kerajaan.

Dugaan itu hanya berdasarkan temuan-temuan di lapangan. Tim belum bisa memastikan gundukan tersebut apa memang benar dulunya digunakan sebagai tempat pemujaan atau peribadatan bagi orang-orang pada zaman kerajaan. Karena yang dilakukan tim hanya sebatas ekspedisi bukan melakukan penelitian.

Perlu ada seorang peneliti yang bisa memastikan keberadaan gundukan tersebut. Untuk mengecek dugaan adanya situs di kawasan hutan ini, kemarin Administratur Kantor Pemangkuan Hutan (KPH) Banyuwangi Utara Artanto turun langsung ke lokasi. Dia ditemani 12 anggotanya dari Perhutani. Rombongan juga tergerak menuju ke dalam hutan.

Artanto sangat mendukung apa yang telah dilakukan tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi untuk menggali informasi tentang temuan-temuan situs kerajaan tersebut. "Kita dukung semua kegiatan dari Jawa Pos Radar Banyuwangi ini," kata Artanto.

Ada informasi menarik terkait dengan keberadaan hutan jati tersebut. Informasi dari petugas Perhutani menyebutkan, gundukan tersebut dulunya memang kerap digunakan oleh warga sekitar sebagai tempat ritual. Kaur Humas Kantor Pemangkuan Hutan (KPH) Banyuwangi Utara, Bambang Hindarto menuturkan, gundukan tersebut dijadikan tempat ritual warga sebagai wujud syukur karena hasil panen melimpah.

Di pucuk gundukan tersebut, warga mengubur kepala sapi. Warga menamakan gundukan itu Gunung Lemah (tanah). Diameternya sekitar 40 meter. Kalau habis panen, warga selalu mengadakan ritual memotong sapi lalu mengubur kepala sapi di atas gundukan tersebut," cerita Bambang.

Ritual tersebut merupakan sebagai wujud syukur warga atas panen yang diterima oleh warga. Namun, seiring perkembangan zaman, ritual tersebut tidak pernah ada lagi. "Iya, ritual itu katanya sebagai wujud syukur atas panen warga, tapi sekarang sudah tidak ada ritual itu," imbuh Bambang

Sementara itu, MH. Qowim, anggota tim ekspedisi menduga kalau bukit yang ditemukan itu merupakan tempat pemujaan, peribadatan, atau persemedian. Sebab, lokasi gundukan tersebut posisinya lebih tinggi dibandingkan daratan yang ada di sekelilingnya. "Di kanan kiri dari gundukan ini juga terdapat tumpukan bata berundak," jelas Qowim menguatkan penjelasan petugas Perhutani.

Meski begitu, bapak satu anak ini belum bisa memastikan kalau gundukan tersebut dulunya dipakai sebagai tempat pemujaan atau peribadatan. Sebab, dugaan-dugaan yang muncul tersebut berdasarkan temuan-temuan tim ekspedisi di lapangan.

"Tapi ini tetap saja perlu diteliti lebih mendalam lagi. Ini hanya dugaan, karena ini sekadar ekspedisi, kami sebatas memberikan informasi dan sedikit analisis sederhana berdasar temuan," pungkas Qowim. (RaBa)

Related Posts:

Ekspedisi Budaya ke Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo. Wongsorejo (5)

batu lelehan lava yang mirip besi

Tidak hanya uang kepeng, tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-RaBa) juga menemukan batu lelehan lava yang mirip besi. Bongkahan-bongkahan batu besi itu banyak ditemukan tim ekspedisi di hutan Dusun Tangkup, Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo.

Sepanjang perjalanan di hutan jati di Dusun Tangkup, Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo, tim ekspedisi menemukan banyak lelehan sisa lava yang sudah membeku. Bentuknya unik, mirip sekali dengan besi. Ukurannya juga bervariasi, mulai sebesar kerikil hingga berukuran sekepalan tangan orang dewasa.

Menemukan lelehan-lelehan lalui mirip besi icrsehut tidak sulit. Sama seperti temuan-temuan sebelumnya, lelehan besi tersebut banyak dijumpai di dalam hutan jati tersebut. Sekilas memang seperti batu biasa, tapi bagian dalamnya bolong-bolong dan mengandung besi. Bobotnya pun lumayan berat seperti besi. Batu lelehan tersebut berserakan begitu saia di lantai hutan.

Semakin ke dalam hutan, terutama di lahan yang menggunduk, lelehan tersebut semakin banyak dijumpai. "Ini lebih banyak lagi balu yang seperti besi," tunjuk kepala Desa Badolan, Jumadi.

Tim ekspedisi sedikit heran terkait lelehan besi yang berkumpul di satu titik tersebut. Dugaan lain pun muncul, yakni lelehan besi itu sisa pembuatan senjata tajam pada zaman dulu. "Apa lelehan lava yang membatu ini sisa lelehan besi dari pembuatan senjata zaman dulu ya?" ujar Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi, Samsudin Adlawi.

Dugaan Samsudin Adlawi itu pun sangat masuk akal. Sebab, lelehan besi tersebut sangat banyak seolah berkumpul di satu titik. Namun itu sebatas dugaan. Bisa juga itu benar-benar sisa lava dari gunung meletus. Sebab, hutan Tangkup sangat dekat Gunung Baluran. "Tapi bisa juga ini memang lelehan lava yang telah membeku dari Gunung Baluran yang meletus," tambah Samsudin.

Sementara itu, MH. Quwim (anggota ekspedisi yang lain) menduga lelehan besi itu adalah lava yang mendingin. Jika dugaan itu benar, maka itu tanda bahwa lokasi tersebut pernah digilas lava gunung meletus. Dia menyebut, kemungkinan gunung yang memuntahkan lava hingga ke lokasi tersebut adalah Gunung Baluran, gunung yang biasa disebut sebagai Gunung Afrika van Jara tersebut berada di kawasan Hutan Nasional Baluran. Dari Desa Watukebo, gunung berketinggian 1.247 meter di atas permukaan laut tersebut berada di sebelah utara dan cukup dekat.

Di sekilar lokasi memang tidak ada gunung dengan ciri-ciri pernah meletus kecuali Gunung Baluran. Berdasar bentuk ujungnya yang sudah hilang, berarti gunung tersebut memang pernah meletus. "Iya, berdasar ilmu vulkanologi, bentuk puncak gunung yang pernah meletus adalah datar atau cekung. Sebab, umumnya bentuk gunung adalah kerucut," katanya.

Pengamatan di lokasi, bentuk Gunung Baluran memang tidak kerucut dan jaraknya tidak begitu jauh dari Desa Watukebo. MH. Qowim menduga, kawasan bekas kerajaan Blambangan kuno tersebut masuk zona merah. Namun demikian, dia tidak bisa menyebutkan tahun berapa gunung berapi tersebut meluluhlantakkan kawasan tersebut

Dia mengaku bukan ahli pegunungan dan tidak pernah mengamati catatan sejarah terkait tahun-tahun meletusnya gunung-gunung di Jawa Timur. Dia hanya sebatas memberikan informasi awal agar dilakukan penelitian lebih mendalam oleh ahlinya. "Karena sekadar ekspedisi, kami sebatas memberikan informasi dan sedikit analisis sederhana. Sebagai bahan awal bagi orang-orang yang serius melakukan penelitian. Pendapat kami ini hanya dugaan bukan klaim kebenaran," jelas pencinta batu akik tersebut.

MH. Qowim menguatkan dugaannya bahwa sisa-sisa besi yang meleleh itu berasal dari letusan gunung berdasar banyaknya batuan obsidian yang ditemukan di sekitar lokasi. Menurutnya, batu obsidian adalah kaca vulkanik yang terbentuk dari batu apung ekstrusif. Obsidian terbentuk dari ekstrusif lava felsik yang mendingin dengan cepat tanpa penumbuhan kristal.

Namun demikian, karena bukan ahli pegunungan, MH. Qowim menyebut bisa juga lelehan-lelehan yang seperti besi itu merupakan sisa-sisa pembuatan senjata berbahan besi. “Itu urusan ahlinya nanti untuk membuktikan apakah itu sisa pembuatan senjata ataukah lava yang mengering," katanya.

Jika jawabannya adalah itu sisa lava dari Gunung Baluran, maka periu diteliti apakah kerajaan Blambangan kuno di lokasi tersebut bubar karena "disikat" lava tersebut ataukah sudah bubar sebelum lava ilu menghujani lokasi tersebut. "Itu perlu dibuktikan secara ilmiah. Tidak boleh ngawur, jangan hanya karena pernah ikut pelatihan-pelatihan sejarah terus sok tahu dan main klaim,” pungkas peneliti bahasa Oseng tersebut. (RaBa)

Related Posts:

Ekspedisi Budaya ke Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo, Wongsorejo (4)

Ekspedisi Budaya ke Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo, Wongsorejo (4)

Setelah menemukan batu bata besar, tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-RaBa) fokus mencari sisa-sisa uang kepeng. Sebab, warga mengaku banyak menemukan uang kepeng di sekitar hutan jati Dusun Tangkup, Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo, itu.

Terik matahari pada Minggu (23/3) tidak menyurutkan semangat tim ekspedisi untuk terus mencari berbagai hal di hutan jati yang dulu diduga sebagai lokasi berdirinya Kerajaan Blambangan Kuno itu.

Administrator Kantor Pemangkuan Hutan Banyuwangi Utara, Ir. Artanto, mengaku mendukung ekspedisi yang dilakukan tim JP-RaBa di Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo, tersebut. Dia menyebut, selama ini lahan yang masuk wilayah Perhutani Banyuwangi Utara itu dianggap hanya menyimpan potensi hutan. Melalui ekspedisi yang dilakukan JP-RaBa, diketahui bahwa lahan tersebut ternyata juga menyimpan potensi budaya dan sejarah yang perlu diketahui dan dilindungi. "Selama ini kita tidak tahu di sini ada sinis bersejarah. Kita tidak tahu di situ pernah berdiri kerajaan Blambangan kuno," kata Ananto.

Artanto menambahkan, pihaknya siap memfasilitasi apa pun yang diperlukan tim JP-RaBa terkait aktivitas ekspedisi yang dilakukan di kawasan yang masuk wilayah Perhutani Banyuwangi Utara tersebut. Sebab, wilayah tersebut bukan wilayah umum, dan tidak semua orang diperbolehkan melakukan aktivitas di lokasi tersebut.

Di bagian lain, keringat terlihat mengalir deras di setiap tubuh anggota tim ekspedisi. Derasnya keringat itu justru membakar semangat tim. Kali ini tim ekspedisi fokus pada banyaknya temuan uang kepeng di hutan jati tersebut. "Ayo semangat, di dalam hutan pasti lebih banyak lagi benda-benda kuno," teriak Syaifuddin Mahmud, wapempred JP-RaBa, yang membuat anggota ekspedisi semakin semangat.

Tanpa dinyana, uang kepeng lawas juga ditemukan di sekitar hutan jati tersebut. Menurut warga sekitar, uang kepeng biasanya ditemukan bersama pecahan-pecahan tembikar dan porselen.

Tim ekspedisi pun tercengang dengan pengakuan warga bahwa dulu uang kepeng sering ditemukan dalam jumlah banyak. "Kita sering menemukan uang kepeng di sini," ujar Nyoto, warga Kecamatan Wongsorejo.

Bentuk dan ukuran uang yang ditemukan warga bermacam-macam. Ada yang berukuran kecil, dan ada yang berukuran besar. Semua uang kepeng yang kita temukan berbentuk bulat, dan yang pasti di tengah-tengah uang tersebut terdapat lubang. Yang lebih menarik dari temuan tersebut, hampir semua terdapat tulisan China

Sementara itu, terkait jenis uang kepeng atau peces bolong yang ditemukan, MH. Qowim menyebut cukup beragam. Di antaranya ada peces bolong lembang, peces bolong koci, dan peces bolong tanpa nama." Meski yang ditemukan banyak, tapi hanya itu yang saya mengerti. Jenis yang lain belum saya pahami," katanya.

Dia menjelaskan, peces bolong lembang berasal dari kata "tambang" yang dalam bahasa Bali artinya lebar atau luas. Ciri-ciri uang tersebut berukuran paling besar di antara peces bolong jenis lain dan berwarna kekuning-kuningan. Menurut Arjan van Aeslt, peces bolong jenis tersebut berasal dari dinasti Qing (1736M-1795M).

Sementara itu, peces bolong koci berasal dari kata kuci atau koci. Menurut Van Der Tuuk, kata itu berasal dari bahasa Cochin China (Vietnam). Ciri-ciri peces bolong jenis ini terdapat huruf pada permukaan bagian belakang. Bagian pinggir lebih menonjol dan kadang pula tidak. Lubang tengahnya berbentuk bujur sangkar. Peces bolong koci diproduksi pada zaman Majapahit. Di lokasi lain kadang ditemukan peces bolong koci yang pada permukaan belakangnya tercetak gambar tokoh pewayangan.

Yang ketiga adalah peces bolong tanpa nama. Kenapa dikatakan "tanpa nama" karena di permukaan depan dan belakang tidak terdapat gambar atau huruf. Namun demikian, MH Qowim menyebut, temuan-temuan itu perlu diteliti lebih mendalam. Terutama, terkait kadar karbon, logam yang digunakan, dan gambar yang tercetak di uang tersebut. Itu guna menelusuri apakah peces bolong tersebut sama dengan yang ditemukan di Bali, bekas Keraton Macan Putih, dan Majapahit ataukah tidak. "Sebab, di bekas Keraton Macan Putih di Desa Gombolirang juga pernah ditemukan peces bolong," katanya.

Perlu diketahui ekspedisi ke bekas Kerajaan Blambangan kuno tersebut merupakan inisiatif murni Jawa Pos Radar Banyuwangi setelah mendapat laporan warga sekitar. Sehingga, semua anggota yang terlihat dalam ekspedisi tersebut merupakan kewenangan penuh JP-RaBa. Selain itu, semua biaya yang diperlukan terkait ekspedisi tersebut ditanggung JP-RaBa.

"JP-RaBa tidak akan menghalang-halangi pihak mana pun yang ingin melakukan ekspedisi serupa. Silakan melakukan ekspedisi di tempat tersebut, juga di tempat lain. Karena siapa pun boleh melakukannya. Tapi, semua biaya ya silakan tanggung sendiri. Perlu juga diketahui bahwa yang dilakukan JP-RaBa ini bukan penelitian, tapi sekadar ekspedisi," jelas MH. Qowim. (RaBa)

Related Posts:

Dahsyatnya Tamparan Sego Tempong Khas Banyuwangi

Nasi Tempong Khas Banyuwangi

BANYUWANGI - Kuliner asal dan asli Banyuwangi yang satu ini memang terkenal karena cita rasa pedasnya yang luar biasa. Saking pedasnya, penikmatnya sampai merasakan sensasi di wajah hingga ke seluruh bagian tubuh. Bagi orang Banyuwangi, sensasi makan nasi ini seperti kena tampar.

Tidak mengherankan bila kuliner ini disebut dengan nama nasi tempong. Tempong merupakan kata dalam bahasa Osing yang artinya menampar. Sepintas memang nasi tempong serupa dengan kebanyakan masakan umum. Penyajiannya, berupa nasi putih dengan lalapan sayur, seperti sayur sawi bayam, limun, terong, dan kemangi. Setelah itu, ditambah lauk pauk, seperti tahu, tempe, ayam, ikan asin, atau sesuai selera penikmatnya. Yang membedakan hanya di bagian sambalnya.

Pengolahan sambal sego tempong menggunakan ranti. Ranti itu dipadu dengan bahan berupa cabai rawit, jeruk limau, dan terasi khusus. Biasanya, terasi itu terbuat dari ikan atau teri. Itulah yang menjadi pembeda sego tempong khas Banyuwangi.

Pedasnya sambal sego tempong diakui Yeri Susentia. Dalam kunjungannya ke Banyuwangi beberapa waktu lalu, pria asal Padang itu mengacungi jempol kelezatan dan kedahsyatan sego tempong. "Selain di Padang, baru di sini saya makan sampai keringatan kayak gini. Sembilan nilainya untuk sego tempong,” ujarnya.

Pedas nasi tempong juga diakui Yeri cukup awet. Bibir rasanya seperti terbakar, telinga serasa berbunyi nguing-nguing setelah menyantap makanan ini. Satu gelas teh yang dipesan tidak mampu meredakan ledakan sambal sego tempong yang disantap. Dia pun perlu tiga gelas teh untuk meredakan rasa pedas yang dia rasakan.

Padahal, awalnya Yeri cukup terkejut dengan komposisi menu yang disajikan dalam menu nasi tempong. Dia meminta diberi ikan laut, tahu, tempe, dan kerupuk. Selain itu, timun dan kemangi.

Suapan pertama dia langsung cocok. Tidak sampai lima belas menit, satu porsi sego tempong habis. Yang membuatnya semakin terkejut, harganya terjangkau. "Rasanyra cocok tapi harganya murah. Pas banget," ujarnya. (RaBa)

Related Posts: