Ekspedisi Budaya ke Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo, Wongsorejo (7)

Potongan gigi temuan tim ekspedisi

Hutan jati Dusun Tangkup, menyimpan banyak misteri. Setelah menemukan gundukan tanah yang diduga sebagai tempat pemujaan, tim ekspedisi menemukan protolan gigi berukuran besar.

Potongan gigi ini banyak ditemukan di semak berduri. Sama seperti temuan tembikar, porselen, uang kepeng, gigi-gigi itu ditemukan berserakan di atas tanah yang dipenuhi semak belukar.

Semula tim mengira ini potongan gigi manusia pada zaman dulu. Karena ukurannya terlalu besar, tim ekspedisi pun diliputi rasa penasaran. Apakah itu gigi manusia ataukah hewan belum terjawab. “ Giginya kok besar ya, apa ini gigi manusia zaman dulu atau gigi hewan?" ujar Gerda Sukamo, salah satu anggota tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-BaRa) yang pertama kali menemukan potongan gigi tersebut.

Di sekitar gundukan yang diketahui bernama Gunung Lemah tersebut ternyata lebih banyak gigi yang ditemukan. Bahkan, tim ekspedisi menemukan potongan-potongan gigi yang masih utuh dan menancap pada gusi. "Ini gigi graham sepertinya, giginya besar-besar,"timpal Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi, Samsudin Adlawi.

Pada tulisan sebelumnya dibahas tentang gundukan yang mencurigakan. Dicurigai karena bentuknya sangat presisi dan sepertinya sengaja dibuat oleh manusia. Kali ini tim mendapat informasi bahwa gundukan tersebut dulu kerap digunakan sebagai tempat ritual warga setempat jika panen raya tiba.

Warga sekitar mengadakan ritual menyembelih sapi, kemudian mengubur kepala sapi yang telah disembelih itu di atas gundukan tersebut. Jika cerita itu memang benar, bisa saja gigi-gigi yang ditemukan tersebut adalah gigi kepala sapi yang dikubur warga pada zaman dahulu. Tetapi, itu hanya spekulasi awal berdasar temuan dan informasi yang didapat tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi yang dibantu warga sekitar dan pihak Perhutani.

Yang jelas, jika gigi tersebut dianggap gigi manusia, tampaknya sangat tidak mungkin. Sebab, gigi yang ditemukan tim ekspedisi tersebut sangat besar. Satu gigi graham yang ditemukan ukurannya setara jempol tangan manusia dewasa. "Bisa jadi itu adalah gigi kerbau. Karena dulu memang ada orang yang mengubur kepala kerbau di gundukan itu," kata ADM Perhutani Banyuwangi Utara, Artanto, meyakinkan.

Kepala Dusun Badolan, Desa Bajulmati, Jumadi, menduga itu adalah gigi binatang. Memang benar di atas gundukan tersebut pernah dilakukan ritual mengubur kepala sapi. Bisa jadi itu gigi sapi yang dikubur warga usai melakukan ritual panen raya. "Dulu memang ada orang sekitar yang melakukan ritual itu. Gigi yang kita temu kan itu mungkin ya gigi sapi itu," kata Jumadi diamini Nyoto, anggota tim ekspedisi yang lain.

Sementara itu, MH. Qowim, salah satu anggota ekspedisi, menyebut gigi yang ditemukan tersebut memang gigi asli. Maksudnya, gigi itu bukan gigi sintesis atau gigi mainan yang sengaja ditebar orang di lokasi tersebut. Apalagi, ada gigi graham yang ditemukan masih menancap di gusi yang telah membatu. Lokasi penemuannya sekitar satu kilometer dari Gunung Lemah.

Namun demikian, dia tidak bisa memastikan apakah gigi-gigi yang ditemukan tersebut merupakan gigi manusia ataukah gigi hewan. Yang jelas, MH. Qowim mengaku pesimistis jika gigi gigi tersebut dianggap gigi manusia. Sebab, gigi gigi yang ditemukan tersebut berukuran terlalu besar bagi ukuran manusia.

Secara pribadi dia menyimpulkan, gigi tersebut bukan gigi manusia. Menurutnya, sangat mustahil gigi-gigi sebesar itu adalah gigi manusia. Tetapi, juga tidak bisa serta mena gigigigi itu disebut sebagai gigi hewan. "Semua itu harus diteliti oleh ahli forensik dulu, bukan ahli sejarah. Sebab, meski menyangkut masa lalu, tapi yang berkompeten terkait gigi adalah ahli forensik," katanya.

Lebih jauh MH. Qowim mengajak masyarakat menyerahkan sesuatu hal kepada ahlinya. Meskipun yang dibahas adalah masa lampau yang berhubungan dengan sejarah. Tetapi, tidak semua hal di masa lampau itu bisa dibedah dengan ilmu sejarah. Menurutnya, sama dengan masa sekarang, masa lampau juga memiliki peradaban yang kompleks. Di masa lampau juga ada sistem pertanian, ekonomi, politik, sosial, religi, pertahanan, bahasa, arsitektur, dan lain-lain. Semua itu adalah disiplin ilmu yang berbeda-beda. "Artinya, semua hal itu harus dibedah dengan ilmu yang sesuai, tidak bisa dibedah dengan satu alat bernama ilmu sejarah semata,” tegasnya.

Kembali ke temuan gigi, MH. Qowim menerangkan sedikit tentang gigi sapi. Menurutnya, berdasar buku yang pernah dia baca, geraham sapi terdiri atas dua belas gigi. Rinciannya, 3 gigi geraham kiri atas, 3 gigi geraham kiri bawah, 3 gigi geraham kanan atas, dan 3 gigi geraham kanan bawah. Gigi sapi dewasa lebih besar daripada gigi manusia.

Berdasar bentuknya yang sangat besar itu, MH. Qowim menduga, kemungkinan besar gigi-gigi yang ditemukan tim ekspedisi itu adalah gigi hewan sejenis sapi. Sebab, meskipun manusia juga sama-sama memiliki gigi graham, tapi graham yang ditemukan itu ukurannya tidak lumrah. "Tetapi, sekali lagi itu perlu dipastikan oleh ahli forensik. Bisa saja itu memang gigi hewan. Tapi bisa jadi juga itu gigi manusia zaman lampau. Sebab, gigi-gigi itu ada yang ditemukan masih menancap pada gusi yang telah membatu. Berarti sudah lama sekali. Bisa jadi gigi manusia saat ini dan zaman dulu berbeda. Itu ahli forensik yang bisa meneliti." pungkas peneliti bahasa Oseng itu. (RaBa)

Related Posts:

Melihat Budi Daya Semut Angkrang di Desa Kembiritan

Ridwan: Budi Daya Angkrang Kroto

Bisnis tanpa Modal, Dapat Informasi dari Google

Telur semut angkrang atau lebih dikenal dengan nama kroto biasanya didapat dengan cara mencari di sarang semut di pepohonan. Namun, Ridwan, 38, warga Dusun Temurejo, Desa Kembiritan, Kecamatan Genteng, mencoba beternak semut angkrang di rumahnya. Hasilnya ternyata cukup lumayan.

Rumah Ridwan di RT 1, RW 3 Dusun Temurejo, Desa Kembiritan, Kecamatan Genteng, terlihat sederhana dan berhadapan dengan sawah. Siang itu di sekitar rumah itu terlihat sepi.

Belum lama berdiri, dari dalam rumah terlihat pria tinggi yang tubuhnya sedikit kurus. Setelah sempat ngobrol sesaat, pria yang tidak lain bernama Ridwan itu langsung mengajak Jawa Pos Radar Genteng ke sebuah ruangan di belakang rumah. Ruang yang seperti kandang ayam itu berdinding anyaman bambu.

Di ruangan itu terdapat dua rak yang diberi penyangga. Setiap kaki penyangga diberi gelas berisi air. Ratusan botol bekas minuman kemasan dan stoples plastik tertata rapi di atas rak itu. Kawanan semut berwarna merah kecokelatan teriihat berkerumun di dalam botol tersebut.

Inilah kandang semut angkrang yang dibudi daya Ridwan sejak dua tahun lalu. Wawan, sapaan Ridwan, memang memiliki kegiatan sampingan menjadi peternak semut angkrang. Angkrang mempakan semut penghasil kroto sebagai makanan pokok burung.

Saat sedang musim, Wawan bisa menjual kroto sekitar 1,5 kilogram (Kg) setiap dua pekan sekali. Harga kroto mulai Rp 80 ribu per kilogram hingga Rp 100 ribu per Kg. "Hasilnya cukup lumayan." katanya.

Wawan memulai aktivitas budi daya semui angkrang setelah kesulitan mencari kroto di alam terbuka. Saat itu dia mulai berpikir kemungkinan menghasilkan kroto tanpa harus bersusah payah mencari di hutan atau blusukan ke ladang milik warga. "Saya buka Google, ternyata angkrang bisa di ternak," ujarnya.

Berbekal keterangan yang diperoleh di internet itu, Wawan segera memulai. Tahap pertama dia menyiapkan tempat untuk koloni angkrang. "Saya siapkan tempatnya dulu dari botol bekas minuman kemasan dengan dilubangi," jelasnya.

Untuk menghindari kemungkinan semut angkrang berkeliaran ke rumah. Wawan menaruh setiap kaki penyangga rak diberi gelas dan botol yang berisi air. Dengan demikian, angkrang tidak bisa keluar dari lokasi tersebut. Tapi, angkrang juga ada yang nekat menyeberangi air. "Saya lupa memberi pakan, angkrang keluar," ujarnya.

Setelah lokasi untuk sarang disiapkan, langkah selanjurnya adalah mencari semut angkrang di alam. Setelah dapat, ditaruh di tempat yang sudah disiapkan itu. Dengan sendirinya, angkrang akan membuat sarang di dalam botol tersebut. "Mereka akan membuat sarang sendiri, rumahnya dari dalam tubuhnya angkrang," jelasnya.

Angrang yang paling baik itu, ternyata yang membuat sarang di pohon, bukan di pucuk pohon. Semut angkrang yang berada di pohon, itu biasanya memiliki telur yang banyak. "Ada tiga jenis angkrang, dari ketiga jenis itu hanya satu yang bisa diternakkan," terangnya sambil menyampaikan angkrang yang bisa diternak itu yang telurnya paling kecil.

Modal yang dikeluarkan untuk memulai ternak angkrang ini tidak terlalu tinggi. Malahan, saat memulai tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. "Botol banyak berserakan, kalau beli harganya itu antara Rp 300 sampai Rp 500 per botol," ungkapnya.

Suami Puji Atutik itu menyampaikan dalam budi daya ini asap rokok dan aroma dapur, termasuk penghambat poses perkembangbiakan semut angkrang. "Asal jangan sampai ada asap rokok atau aroma bumbu," katanya.

Jika usaha ini dijadikan kegiatan serius, sebenarnya cukup menjanjikan. Sebab, permintaan pasar cukup tinggi dengan banyaknya peminat hnhi burung. Selain itu, penggila pancing juga membutuhkan kroto untuk umpan." Bisa dijadikan sampingan, tapi cukup lumayan jika serius," cetusnya. (RaBa)

Related Posts:

Muhammad Farid, Pendiri Banyuwangi Islamic School

Muhammad Farid, Pendiri Banyuwangi Islamic School

Karena Wasiat Kiai As’ad

Bagi kalangan pendidikan dan perusahaan di Banyuwangi, nama Muhammad Farid, tentu sudah tidak asing lagi. Dia sering menjadi trainer dan motivator di sejumlah lembaga pendidikan dan perusahaan.

Apalagi jika menjelang ujian nasional (unas) dia sering diminta untuk mengisi training dan motivasi spiritual kepada para siswa. "Kalau sudah mendekati unas, kadang seminggu sekali dan juga setiap hari mengisi training," ujarnya.

Selain menjadi trainer dan motivator, Farid kini juga terikat kontrak dengan beberapa sekolah untuk menjadi konsultan pendidikan. Di antaranya di Kota Bekasi, serta beberapa sekolah di Banyuwangi dan Situbondo.

Dalam menjalankan perannya sebagai konsultan pendidikan tersebut, bapak dengan tiga anak ini lebih banyak memberikan pendampingan sistem pendidikan dan manajemen keuangan sekolah.

Untuk wilayah Banyuwangi, Ketua Ikatan Santri dan Alumni Salafiah Syafi'iyah (IKSASS) Rayon Banyuwangi, ini langsung memberikan bimbingan secara langsung dengan turun ke lokasi sepekan sekali. "Sedangkan unluk luar Banyuwangi, dia akan memberikan konsultasinya via telepon, namun sebulan sekali datang ke lokasi," ujar Farid.

Bila menilik kebelakang, tentu apa yang dijalani Farid saat ini sama sekali menyimpang background pendidikannya. Maklum, dia bukanlah seorang sarjana pendidikan.

Gelar strata satu (S1) dia peroleh dari Institut Agama Islama Ibrahimy, Sukorejo, Situbondo, dari Fakultas Syari’ah jurusan Mu'amalah yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pendidikan.

Hal inilah yang pernah membuat heran Andy F Noya, pemandu acara Kick Andy di stasiun Metro TV pada 2012 lalu. "Saya ditanya, tidak ada latar belakang pendidikan kok berani mendirikan lembaga pendidikan," tuturnya menirukan pertanyaan Andy F Noya itu.

Farid menuturkan, ketertarikannya menekuni dunia pendidikan semata hanyalah hobi dan lahan untuk mengabdikan diri kepada masyarakat, sekaligus ingin menjalankan wasiat pengasuh kedua Pesantren Salafiah Syafi'iyah, Sukrejo, Situbondo, almarhum Kiai As'ad Syamsul Arifin. "Alasan saya itu aja," pungkasnya.


Dulu Jadi Cibiran, Sekarang Jadi Jujukan

Gagasan Farid dan seorang rekannya, Suyanto mendirikan BIS pada 2005 silam, kini benar-benar bisa dilihat dan dirasakan hasilnya. Lembaga pendidikan yang dulunya sempat dicibir banyak orang, kini justru menjadi jujugan study banding.

Banyak sekolah dan perguruan tinggi dari Banywangi maupun luar daerah, yang berkunjung ke BIS untuk mengetahui sistem pembelajaran yang dilakukan di sekolah ini.

Beberapa perguruan tinggi negeri yang sempat melakukan kunjungan study banding, di antaranya Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta. Universitas Negeri Yogjakarta (UNJ), Universitas Jember (Unej) dan sejumlah perguruan tinggi ternama lainnya.

Selain menjadi jujugan study banding, BIS juga sering dikunjungi mahasiswa untuk melakukan penelitian. Terutama yang akan membuat skripsi dan tesis. "Alhamdulillah sekarang sudah dikenal banyak orang," tuturnya.

Meski sudah dikenal banyak orang dan menjadi jujugan study banding, Farid tidak puas begitu saja untuk berkarya. Kini dia mulai mengembangkan hal baru lalu yang masih berkaitan dengan pendidikan. Yaitu ekonomi mandiri berbasis sekolah. Dia memanfaatkan jaringan di organisasi Ikatan Santri dan Alumni Salafiyah Syafi'iyah (IKSASS) yang berada seluruh Nusantara.

Untuk saat ini kerjasama yang sudah terbangun adalah IKSASS Banyuwangi dan IKSASS DKI Jakarta di bidang ekonomi. "Kita mendirikan sejumlah usaha di lembaga-lembaga pendidikan milik alumni. Sehingga ke depan lembaga milik alumni ini bisa mandiri dan tidak terlalu tergantung dengan bantuan dari pihak manapun," ujarnya.


Belajar Tanpa Ruang, Sekolah Bayar Sayur

Muhammad Farid, 38, owner Banyuwangi Islamic School (BIS) yang beralamat di Villa Alam Asri, Desa Genteng Kulon, Kecamatan Genteng, terbilang sosok guru muda yang berani mengambil langkah berbeda dalam mengelola lembaga pendidikan.

Sejak 2005 silam, alumni Pondok Pesantren Salafiah Syafi'iyah, Sukorejo, Situbondo, itu mendirikan BIS yang mengelola Pesantren Alam, serta pendidikan formal SD, SMP dan SMA Alam.

Namun, dalam mengelola lembaga pendidikannya tersebut, dia memilih jalan yang berbeda. Para siswa di sekolah tersebut tidak berseragam sebagaimana umumnya. Selain itu, bagi murid yang tidak mampu dibebaskan membayar biaya semampunya, termasuk membayar sayur.

Sehingga, pada awal-awal berdirinya SD/SMP Alam, banyak wali murid yang kurang mampu menyekolahkan anaknya dengan membayar sayur. Mereka membawa palawija dan beras untuk dibawa ke asrama BIS.

Sistem pembelajaran di BIS juga berbeda. Misalkan para siswa yang sekolah di BIS belajarnya di ruang terbuka atau tidak di dalam kelas. Dalam belajar, para siswa dipersilakan mencari tempat sendiri dengan cara berkelompok masing-masing 10 orang.

Mereka dipandu untuk membuat game pembelajaran dan membuat buku pelajaran metode mind mapping.

Sehingga setiap harinya, tidak ada proses kegiatan belajar dan mengajar di ruang kelas. Hanya sesekali saja mereka melakukan kegiatan di dalam ruang aula pesantren, untuk presentasi hasil produk belajar masing-masing kelompok.

Kontan saja, model pembelajaran yang digagas Farid dan seorang rekannya, Suyanto, ini awalnya dianggap aneh. Bahkan sempat mendapat cibiran dari banyak pihak. Sebab, dianggap keluar dari pakem pembelajaran yang sudah ada.

Namun, seiring berjalannya waktu, ternyata Farid dan Yanto mampu menunjukkan basil yang cukup memuaskan. Banyak lulusan SD/SMP Alam yang berprestasi.

Kebanyakan lulusan siswa SD/SMP Alam mampu menguasai beberapa bahasa. Terutama bahasa Inggris dan Arab. Bahkan mereka banyak menjadi trainer di beberapa sekolah. "Siswa kita banyak yang menjadi asisten guru bahasa Inggris dan Arab di beberapa sekolah lanjutan," kata Farid.

Bukan itu saja, selama menjalani pendidikan di BIS, banyak siswa yang dikontrak untuk mengisi training English Fun, Math Fun, Super Memory, dan mind maping, ke sejumlah sekolah di Jawa maupun luar Jawa. "Misalkan bulan April ini ada 15 anak yang dikontrak di Kota Bekasi untuk mengisi training," tuturnya.

Banyaknya siswa yang berprestasi dan mampu mengembangkan potensi dirinya inilah, kemudian mulai mengundang perhatian banyak pihak untuk menyekolahkan anaknya ke SD/SMP Alam.

Sehingga selain siswa yang tidak mampu, kini banyak anak-anak pengusaha dan pejabat baik dari Banyuwangi maupun luar daerah yang kemudian memasukkan anaknya belajar ke BIS. "Bahkan anaknya Kasi TK dan Paud Dinas Pendidikan Jawa Timur juga disekolahkan ke sini," sebutnya.

Meski demikian, Farid menegaskan, bahwa sekolah di BIS tidak membatasi siapapun untuk masuk. Para siswa yang berasal dari ekonomi lemah dan bisanya membayar sayur tetap diprioritaskan. (RaBa)

Related Posts:

Ekspedisi Budaya ke Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo, Wongsorejo (6)

Tim Ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-RaBa)

Selain menemukan sisa lava, tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-RaBa) juga dikejutkan adanya gundukan tanah di tengah hutan jati. Melihat bentuk gundukan yang sangat presisi tersebut, diduga dulunya digunakan sebagai tempat pemujaan.

Selain panas matahari yang sangat terik, medan menuju lokasi gundukan di hutan Dusun Tangkup, Desa Watukebo, KecamatanWongsorejo cukup berat. Tumpukan rumput-rumput dan semak belukar yang sangat lebat di dalam hutan tidak menjadi halangan tim ekspedisi untuk terus melanjutkan perjalanan.

Duri-duri rumput yang tajam menjadi tantangan tersendiri bagi tim ekspedisi. "Durinya nempel di kaki, rasanya gatal," kata Pemimpin Redaksi Jawa Pos Radar Banyuwangi, Bayu Saksono sembari mencabut duri kecil yang menancap di kakinya.

Meski medan cukup berat, seluruh anggota tim ekspedisi tetap berjalan saja ke tengah hutan untuk mendapatkan temuan-temuan lain. Jika sebelumnya tim menemukan beberapa pecahan-tembikar, porselen, dan batu bata besar di sekitar hutan, kali ini tim menemukan dua buah gundukan yang mencurigakan di tengah hutan jati milik Perhutani tersebut.

Bentuk gundukan sangat presisi dan tertata jika kita lihat dari bawah. "Sepertinya gundukan itu terbentuk karena buatan manusia," duga Direktur JP-RaBa, Samsudin Adlawi yang ikut dalam rombongan tim ekspedisi.

Selain karena bentuk dari gundukan yang ada di dalam hutan tersebut, dugaan Samsudin tersebut mencuat karena di sekitar gundukan tersebut kita lebih banyak lagi menemukan pecahan-pecahan porselen, tembikar dan temuan batu bata merah. Bisa jadi, gundukan tersebut dulunya dijadikan sebagai tempat pemujaan atau tempat peribadatan pada zaman kerajaan.

Dugaan itu hanya berdasarkan temuan-temuan di lapangan. Tim belum bisa memastikan gundukan tersebut apa memang benar dulunya digunakan sebagai tempat pemujaan atau peribadatan bagi orang-orang pada zaman kerajaan. Karena yang dilakukan tim hanya sebatas ekspedisi bukan melakukan penelitian.

Perlu ada seorang peneliti yang bisa memastikan keberadaan gundukan tersebut. Untuk mengecek dugaan adanya situs di kawasan hutan ini, kemarin Administratur Kantor Pemangkuan Hutan (KPH) Banyuwangi Utara Artanto turun langsung ke lokasi. Dia ditemani 12 anggotanya dari Perhutani. Rombongan juga tergerak menuju ke dalam hutan.

Artanto sangat mendukung apa yang telah dilakukan tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi untuk menggali informasi tentang temuan-temuan situs kerajaan tersebut. "Kita dukung semua kegiatan dari Jawa Pos Radar Banyuwangi ini," kata Artanto.

Ada informasi menarik terkait dengan keberadaan hutan jati tersebut. Informasi dari petugas Perhutani menyebutkan, gundukan tersebut dulunya memang kerap digunakan oleh warga sekitar sebagai tempat ritual. Kaur Humas Kantor Pemangkuan Hutan (KPH) Banyuwangi Utara, Bambang Hindarto menuturkan, gundukan tersebut dijadikan tempat ritual warga sebagai wujud syukur karena hasil panen melimpah.

Di pucuk gundukan tersebut, warga mengubur kepala sapi. Warga menamakan gundukan itu Gunung Lemah (tanah). Diameternya sekitar 40 meter. Kalau habis panen, warga selalu mengadakan ritual memotong sapi lalu mengubur kepala sapi di atas gundukan tersebut," cerita Bambang.

Ritual tersebut merupakan sebagai wujud syukur warga atas panen yang diterima oleh warga. Namun, seiring perkembangan zaman, ritual tersebut tidak pernah ada lagi. "Iya, ritual itu katanya sebagai wujud syukur atas panen warga, tapi sekarang sudah tidak ada ritual itu," imbuh Bambang

Sementara itu, MH. Qowim, anggota tim ekspedisi menduga kalau bukit yang ditemukan itu merupakan tempat pemujaan, peribadatan, atau persemedian. Sebab, lokasi gundukan tersebut posisinya lebih tinggi dibandingkan daratan yang ada di sekelilingnya. "Di kanan kiri dari gundukan ini juga terdapat tumpukan bata berundak," jelas Qowim menguatkan penjelasan petugas Perhutani.

Meski begitu, bapak satu anak ini belum bisa memastikan kalau gundukan tersebut dulunya dipakai sebagai tempat pemujaan atau peribadatan. Sebab, dugaan-dugaan yang muncul tersebut berdasarkan temuan-temuan tim ekspedisi di lapangan.

"Tapi ini tetap saja perlu diteliti lebih mendalam lagi. Ini hanya dugaan, karena ini sekadar ekspedisi, kami sebatas memberikan informasi dan sedikit analisis sederhana berdasar temuan," pungkas Qowim. (RaBa)

Related Posts:

Ekspedisi Budaya ke Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo. Wongsorejo (5)

batu lelehan lava yang mirip besi

Tidak hanya uang kepeng, tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-RaBa) juga menemukan batu lelehan lava yang mirip besi. Bongkahan-bongkahan batu besi itu banyak ditemukan tim ekspedisi di hutan Dusun Tangkup, Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo.

Sepanjang perjalanan di hutan jati di Dusun Tangkup, Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo, tim ekspedisi menemukan banyak lelehan sisa lava yang sudah membeku. Bentuknya unik, mirip sekali dengan besi. Ukurannya juga bervariasi, mulai sebesar kerikil hingga berukuran sekepalan tangan orang dewasa.

Menemukan lelehan-lelehan lalui mirip besi icrsehut tidak sulit. Sama seperti temuan-temuan sebelumnya, lelehan besi tersebut banyak dijumpai di dalam hutan jati tersebut. Sekilas memang seperti batu biasa, tapi bagian dalamnya bolong-bolong dan mengandung besi. Bobotnya pun lumayan berat seperti besi. Batu lelehan tersebut berserakan begitu saia di lantai hutan.

Semakin ke dalam hutan, terutama di lahan yang menggunduk, lelehan tersebut semakin banyak dijumpai. "Ini lebih banyak lagi balu yang seperti besi," tunjuk kepala Desa Badolan, Jumadi.

Tim ekspedisi sedikit heran terkait lelehan besi yang berkumpul di satu titik tersebut. Dugaan lain pun muncul, yakni lelehan besi itu sisa pembuatan senjata tajam pada zaman dulu. "Apa lelehan lava yang membatu ini sisa lelehan besi dari pembuatan senjata zaman dulu ya?" ujar Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi, Samsudin Adlawi.

Dugaan Samsudin Adlawi itu pun sangat masuk akal. Sebab, lelehan besi tersebut sangat banyak seolah berkumpul di satu titik. Namun itu sebatas dugaan. Bisa juga itu benar-benar sisa lava dari gunung meletus. Sebab, hutan Tangkup sangat dekat Gunung Baluran. "Tapi bisa juga ini memang lelehan lava yang telah membeku dari Gunung Baluran yang meletus," tambah Samsudin.

Sementara itu, MH. Quwim (anggota ekspedisi yang lain) menduga lelehan besi itu adalah lava yang mendingin. Jika dugaan itu benar, maka itu tanda bahwa lokasi tersebut pernah digilas lava gunung meletus. Dia menyebut, kemungkinan gunung yang memuntahkan lava hingga ke lokasi tersebut adalah Gunung Baluran, gunung yang biasa disebut sebagai Gunung Afrika van Jara tersebut berada di kawasan Hutan Nasional Baluran. Dari Desa Watukebo, gunung berketinggian 1.247 meter di atas permukaan laut tersebut berada di sebelah utara dan cukup dekat.

Di sekilar lokasi memang tidak ada gunung dengan ciri-ciri pernah meletus kecuali Gunung Baluran. Berdasar bentuk ujungnya yang sudah hilang, berarti gunung tersebut memang pernah meletus. "Iya, berdasar ilmu vulkanologi, bentuk puncak gunung yang pernah meletus adalah datar atau cekung. Sebab, umumnya bentuk gunung adalah kerucut," katanya.

Pengamatan di lokasi, bentuk Gunung Baluran memang tidak kerucut dan jaraknya tidak begitu jauh dari Desa Watukebo. MH. Qowim menduga, kawasan bekas kerajaan Blambangan kuno tersebut masuk zona merah. Namun demikian, dia tidak bisa menyebutkan tahun berapa gunung berapi tersebut meluluhlantakkan kawasan tersebut

Dia mengaku bukan ahli pegunungan dan tidak pernah mengamati catatan sejarah terkait tahun-tahun meletusnya gunung-gunung di Jawa Timur. Dia hanya sebatas memberikan informasi awal agar dilakukan penelitian lebih mendalam oleh ahlinya. "Karena sekadar ekspedisi, kami sebatas memberikan informasi dan sedikit analisis sederhana. Sebagai bahan awal bagi orang-orang yang serius melakukan penelitian. Pendapat kami ini hanya dugaan bukan klaim kebenaran," jelas pencinta batu akik tersebut.

MH. Qowim menguatkan dugaannya bahwa sisa-sisa besi yang meleleh itu berasal dari letusan gunung berdasar banyaknya batuan obsidian yang ditemukan di sekitar lokasi. Menurutnya, batu obsidian adalah kaca vulkanik yang terbentuk dari batu apung ekstrusif. Obsidian terbentuk dari ekstrusif lava felsik yang mendingin dengan cepat tanpa penumbuhan kristal.

Namun demikian, karena bukan ahli pegunungan, MH. Qowim menyebut bisa juga lelehan-lelehan yang seperti besi itu merupakan sisa-sisa pembuatan senjata berbahan besi. “Itu urusan ahlinya nanti untuk membuktikan apakah itu sisa pembuatan senjata ataukah lava yang mengering," katanya.

Jika jawabannya adalah itu sisa lava dari Gunung Baluran, maka periu diteliti apakah kerajaan Blambangan kuno di lokasi tersebut bubar karena "disikat" lava tersebut ataukah sudah bubar sebelum lava ilu menghujani lokasi tersebut. "Itu perlu dibuktikan secara ilmiah. Tidak boleh ngawur, jangan hanya karena pernah ikut pelatihan-pelatihan sejarah terus sok tahu dan main klaim,” pungkas peneliti bahasa Oseng tersebut. (RaBa)

Related Posts:

Ekspedisi Budaya ke Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo, Wongsorejo (4)

Ekspedisi Budaya ke Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo, Wongsorejo (4)

Setelah menemukan batu bata besar, tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-RaBa) fokus mencari sisa-sisa uang kepeng. Sebab, warga mengaku banyak menemukan uang kepeng di sekitar hutan jati Dusun Tangkup, Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo, itu.

Terik matahari pada Minggu (23/3) tidak menyurutkan semangat tim ekspedisi untuk terus mencari berbagai hal di hutan jati yang dulu diduga sebagai lokasi berdirinya Kerajaan Blambangan Kuno itu.

Administrator Kantor Pemangkuan Hutan Banyuwangi Utara, Ir. Artanto, mengaku mendukung ekspedisi yang dilakukan tim JP-RaBa di Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo, tersebut. Dia menyebut, selama ini lahan yang masuk wilayah Perhutani Banyuwangi Utara itu dianggap hanya menyimpan potensi hutan. Melalui ekspedisi yang dilakukan JP-RaBa, diketahui bahwa lahan tersebut ternyata juga menyimpan potensi budaya dan sejarah yang perlu diketahui dan dilindungi. "Selama ini kita tidak tahu di sini ada sinis bersejarah. Kita tidak tahu di situ pernah berdiri kerajaan Blambangan kuno," kata Ananto.

Artanto menambahkan, pihaknya siap memfasilitasi apa pun yang diperlukan tim JP-RaBa terkait aktivitas ekspedisi yang dilakukan di kawasan yang masuk wilayah Perhutani Banyuwangi Utara tersebut. Sebab, wilayah tersebut bukan wilayah umum, dan tidak semua orang diperbolehkan melakukan aktivitas di lokasi tersebut.

Di bagian lain, keringat terlihat mengalir deras di setiap tubuh anggota tim ekspedisi. Derasnya keringat itu justru membakar semangat tim. Kali ini tim ekspedisi fokus pada banyaknya temuan uang kepeng di hutan jati tersebut. "Ayo semangat, di dalam hutan pasti lebih banyak lagi benda-benda kuno," teriak Syaifuddin Mahmud, wapempred JP-RaBa, yang membuat anggota ekspedisi semakin semangat.

Tanpa dinyana, uang kepeng lawas juga ditemukan di sekitar hutan jati tersebut. Menurut warga sekitar, uang kepeng biasanya ditemukan bersama pecahan-pecahan tembikar dan porselen.

Tim ekspedisi pun tercengang dengan pengakuan warga bahwa dulu uang kepeng sering ditemukan dalam jumlah banyak. "Kita sering menemukan uang kepeng di sini," ujar Nyoto, warga Kecamatan Wongsorejo.

Bentuk dan ukuran uang yang ditemukan warga bermacam-macam. Ada yang berukuran kecil, dan ada yang berukuran besar. Semua uang kepeng yang kita temukan berbentuk bulat, dan yang pasti di tengah-tengah uang tersebut terdapat lubang. Yang lebih menarik dari temuan tersebut, hampir semua terdapat tulisan China

Sementara itu, terkait jenis uang kepeng atau peces bolong yang ditemukan, MH. Qowim menyebut cukup beragam. Di antaranya ada peces bolong lembang, peces bolong koci, dan peces bolong tanpa nama." Meski yang ditemukan banyak, tapi hanya itu yang saya mengerti. Jenis yang lain belum saya pahami," katanya.

Dia menjelaskan, peces bolong lembang berasal dari kata "tambang" yang dalam bahasa Bali artinya lebar atau luas. Ciri-ciri uang tersebut berukuran paling besar di antara peces bolong jenis lain dan berwarna kekuning-kuningan. Menurut Arjan van Aeslt, peces bolong jenis tersebut berasal dari dinasti Qing (1736M-1795M).

Sementara itu, peces bolong koci berasal dari kata kuci atau koci. Menurut Van Der Tuuk, kata itu berasal dari bahasa Cochin China (Vietnam). Ciri-ciri peces bolong jenis ini terdapat huruf pada permukaan bagian belakang. Bagian pinggir lebih menonjol dan kadang pula tidak. Lubang tengahnya berbentuk bujur sangkar. Peces bolong koci diproduksi pada zaman Majapahit. Di lokasi lain kadang ditemukan peces bolong koci yang pada permukaan belakangnya tercetak gambar tokoh pewayangan.

Yang ketiga adalah peces bolong tanpa nama. Kenapa dikatakan "tanpa nama" karena di permukaan depan dan belakang tidak terdapat gambar atau huruf. Namun demikian, MH Qowim menyebut, temuan-temuan itu perlu diteliti lebih mendalam. Terutama, terkait kadar karbon, logam yang digunakan, dan gambar yang tercetak di uang tersebut. Itu guna menelusuri apakah peces bolong tersebut sama dengan yang ditemukan di Bali, bekas Keraton Macan Putih, dan Majapahit ataukah tidak. "Sebab, di bekas Keraton Macan Putih di Desa Gombolirang juga pernah ditemukan peces bolong," katanya.

Perlu diketahui ekspedisi ke bekas Kerajaan Blambangan kuno tersebut merupakan inisiatif murni Jawa Pos Radar Banyuwangi setelah mendapat laporan warga sekitar. Sehingga, semua anggota yang terlihat dalam ekspedisi tersebut merupakan kewenangan penuh JP-RaBa. Selain itu, semua biaya yang diperlukan terkait ekspedisi tersebut ditanggung JP-RaBa.

"JP-RaBa tidak akan menghalang-halangi pihak mana pun yang ingin melakukan ekspedisi serupa. Silakan melakukan ekspedisi di tempat tersebut, juga di tempat lain. Karena siapa pun boleh melakukannya. Tapi, semua biaya ya silakan tanggung sendiri. Perlu juga diketahui bahwa yang dilakukan JP-RaBa ini bukan penelitian, tapi sekadar ekspedisi," jelas MH. Qowim. (RaBa)

Related Posts:

Dahsyatnya Tamparan Sego Tempong Khas Banyuwangi

Nasi Tempong Khas Banyuwangi

BANYUWANGI - Kuliner asal dan asli Banyuwangi yang satu ini memang terkenal karena cita rasa pedasnya yang luar biasa. Saking pedasnya, penikmatnya sampai merasakan sensasi di wajah hingga ke seluruh bagian tubuh. Bagi orang Banyuwangi, sensasi makan nasi ini seperti kena tampar.

Tidak mengherankan bila kuliner ini disebut dengan nama nasi tempong. Tempong merupakan kata dalam bahasa Osing yang artinya menampar. Sepintas memang nasi tempong serupa dengan kebanyakan masakan umum. Penyajiannya, berupa nasi putih dengan lalapan sayur, seperti sayur sawi bayam, limun, terong, dan kemangi. Setelah itu, ditambah lauk pauk, seperti tahu, tempe, ayam, ikan asin, atau sesuai selera penikmatnya. Yang membedakan hanya di bagian sambalnya.

Pengolahan sambal sego tempong menggunakan ranti. Ranti itu dipadu dengan bahan berupa cabai rawit, jeruk limau, dan terasi khusus. Biasanya, terasi itu terbuat dari ikan atau teri. Itulah yang menjadi pembeda sego tempong khas Banyuwangi.

Pedasnya sambal sego tempong diakui Yeri Susentia. Dalam kunjungannya ke Banyuwangi beberapa waktu lalu, pria asal Padang itu mengacungi jempol kelezatan dan kedahsyatan sego tempong. "Selain di Padang, baru di sini saya makan sampai keringatan kayak gini. Sembilan nilainya untuk sego tempong,” ujarnya.

Pedas nasi tempong juga diakui Yeri cukup awet. Bibir rasanya seperti terbakar, telinga serasa berbunyi nguing-nguing setelah menyantap makanan ini. Satu gelas teh yang dipesan tidak mampu meredakan ledakan sambal sego tempong yang disantap. Dia pun perlu tiga gelas teh untuk meredakan rasa pedas yang dia rasakan.

Padahal, awalnya Yeri cukup terkejut dengan komposisi menu yang disajikan dalam menu nasi tempong. Dia meminta diberi ikan laut, tahu, tempe, dan kerupuk. Selain itu, timun dan kemangi.

Suapan pertama dia langsung cocok. Tidak sampai lima belas menit, satu porsi sego tempong habis. Yang membuatnya semakin terkejut, harganya terjangkau. "Rasanyra cocok tapi harganya murah. Pas banget," ujarnya. (RaBa)

Related Posts:

BLAM tees, Kaos Oleh-oleh Khas Banyuwangi

BLAM tees, Kaos Oleh-oleh Khas Banyuwangi

Sebagai salah satu destinasi wisata oleh-oleh dan produk kaus asli Banyuwangi, BLAM tees yang outlet dan workshop yang beralamat di Jl. Hasanuddin 18 Genteng (depan GrapariTelkomsel) merupakan kaos yang diproduksi langsung secara eksklusif oleh lare-lare "kreatif" Banyuwangi.

Dengan harga sangat "merakyat", BLAM tees yang tidak hanya berorientasi pada profit ini menyajikan berbagai varian model, desain, dan kualitas. Kaos ini dibanderol mulai Rp. 27.000 hingga kualitas premium 100% cotton combed 30s hanya dibanderol Rp. 39.000 untuk ukuran dewasa, dan Rp. 22.000 untuk ukuran anak-anak. "Ya produk kami kini menjadi salah satu alternatif oleh-oleh selain makanan/snack khas Banyuwangi lainnyar," ujar Juwita Devi selaku manager BLAM tees.

Sementara itu selama tiga tahun berdiri, kunjungan ke outlet BLAM tees semakin meningkat. "Rata-rata rekapitulasi penjualan minimal 1800 pieces per bulan. Hal ini signal positif bagi kami dan membuktikan bahwa produk kami yang orientasi utamanya untuk mempromosikan Kota Banyuwangi ini bisa diterima masyarakat secara luas,"jelas alumnus Magister Kenotariatan Universitas Airlangga Surabaya itu.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan akses website kami di BLAM Tees - Kaos Banyuwangi dan facebook: BLAM tees Kaos Banyuwangi

Related Posts:

Ekspedisi Budaya ke Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo, Wongsorejo (3)

Tim Ekspedisi Radar Banyuwangi

Selelah menemukan kepingan porselen dan tembikar, tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-RaBa) dan Dewan Kesenian Biambangan(DKB) fokus mencari bata-bata berukuran besar.

Bata ukuran jumbo itu ditemukan di sekitar hulan jali Dusun Tangkup Desa Watukebo Kecamatan Wongsorejo. Bersama sepuluh anggota tim ekspedisi JP-RaBa, DKB, dan warga setempat, tim ekspedisi tidak hanya menemukan pecahan-pecahan bala merah berukuran besar yang berserakan di alas permukaan tanah di hutan jati tersebut. Tim ekspedisi juga menemukan tumpukan batu-bata besar yang masih tertata dan tertimbun tanah.

Menggunakan peralatan yang dibeli di Pasar Bajulmati, seperti celurit dan bodeng, tim ekspedisi bahu-membahu membersihkan semak-semak rumput yang menutupi tumpukan batu bata tersebut.

Memang, sebelum menembus hutan jati, tidak sengaja tim ekspedisi menghampiri pedagang senjata tajam di pinggir jalan raya dekat Pasar Galekan, Desa Bajulmati. Niat membeli sajam itu sebetulnya untuk keperluan di rumah. Direktur JP-RaBa sekaligus ketua DKB, Samsudin Adlawi membeli sabit besar keperluan kerja bakti di rumahnya. Sementara itu, Syaifuddin Mahmud (wapempred JP-RaBa) membeli parang besar.

Harganya tidak terlalu mahal. Sabit dan parang yang ditawarkan Rp 100 ribu per biji itu akhirnya dihargai Rp 50 ribu. Ternyata sajam tersebut sangat bermanfaat saat ekspedisi, karena bisa digunakan membuka akses setapak yang akan dilewati. "Ternyata alat-alat yang kita beli di Pasar Bajulmati tadi ada gunanya juga. Bisa jadi ini kode alam," ujar Kepala Dusun Badolan, Desa Bajulmati, Jumadi, yang tergabung dalam tim ekspedisi.

Kemudian, setelah semak-semak dibersihkan, terlihat tanah berwarna cokelat. Namun, setelah tanah tersebut dikeruk terlihat bata-bata yang masih tertata rapi. Kondisinya masih utuh. "Ukurannya sama seperti yang kita temukan di bawah tadi," timpal Jumari, anggota tim ekspedisi lainnya.

Sementara itu, MH. Qowim, salah satu anggota ekpedisi, menyebut bata yang ditemukan di Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo, itu masih dua ukuran. Ukuran pertama dengan panjang 30 cm, lebar 17,5 cm, tebal 5 cm. Ukuran kedua panjangnya 33, lebar 23,5, dan tebal 6 cm.

Sementara itu, bata yang ditemukan di bekas Keraton Macan Putih di Desa Gombolirang lebih beragam, yakni ada tujuh jenis. Pertama ukuran panjang 27 cm, lebar 15,5 cm, dan tebal 6,5 cm. Kedua, ukuran panjang 12 cm, lebar 21 cm, dan tebal 10 cm. Ketiga, panjang 10 cm, lebar 20 cm, dan tebal 9 cm. Keempat, ukuran panjang 39 cm, lebar 19 cm, dan tebal 9 cm. Kelima, ukuran panjang 27 cm, lebar 15,5 cm, dan tebal 6,5. Keenam, ukuran panjang 27 cm. lebar 15,5 cm, dan tebal 5.

Selain itu, di bekas Keraton Macan Putih tim ekspedisi juga menemukan bata mirip jajaran genjang. Bata dengan model tersebut panjangnya 25 cm, lebar bagian bawah 12 cm, lebar bagian atas 10, dan tebal 6 cm. Kemiringan sisi yang miring adalah 45 derajat.

Menurut anggota DKB tersebut, bata di Desa Watukebo baru ditemukan dua jenis, karena memang belum pernah dilakukan pencarian serius dan ekskavasi. "Ditemukan dua jenis itu kan karena kebetulan yang terlihat hanya itu. Belum dicari dan belum digali. Mungkin kalau digali akan ditemukan banyak macamnya," katanya.

Batu bata bertuliskan huruf China
Salah satu batu bata bertuliskan huruf China

Yang jelas, menurut MH. Qowim, kualitas bata yang ditemukan di Desa Watukebo kurang begitu bagus. Bata yang ditemukan di bekas Keraton Macan Putih dia anggap lebih baik. Dia menduga, bata yang ditemukan di Desa Watukebo kurang baik karena tanah yang digunakan membuat bata tersebut memang kurang bagus. Selain itu, bisa juga akibat adonannya kekurangan air atau pembakarannya kurang matang. "Iya, memang batanya getas. Mudah patah. Warnanya juga tidak merah, tapi kecokelatan. Bisa jadi pembakarannya kurang sempurna. Tetapi, itu baru sebatas yang ditemukan ini," katanya.

Terkait susunan bata yang terlihat pada ekspedisi kemarin, menurutnya ada kemiripan dengan yang ditemukan di bekas Keraton Macan putih. Kemiripan itu terletak pada cara menata sambung an bata dengan bata di atasnya. Sambungan bata di sap paling bawah tidak tepat berada di tengah bata di atasnya, melainkan bergeser sekitar 5 sampai 7 cm ke kanan atau ke kiri.

Namun demikian, menurut MH. Qowim, ada satu perbedaan mencolok. Pada susunan batu bata yang ditemukan di bekas Keraton Macan Putih tidak ada bahan perekat, sedangkan yang ditemukan di Desa Watukebo ada perekatnya berupa tanah. Tadi, di antara bata dan bata ada tanah sebagai loloh,” jelasnya.

Tentang bata yang terdapat huruf China, menurutnya perlu dibaca oleh ahlinya terlebih dahulu. "Bisa jadi itu ada artinya, dan bisa jadi pula itu tanda atau simbol. Itu perlu diteliti lebih mendalam," pungkas peneliti bahasa Oseng itu. (RaBa)

Related Posts:

Mengikuti Panen Raya di Desa Kendalrejo, Kecamatan Tegaldlimo

Mengikuti Panen Raya di Desa Kendalrejo, Kecamatan Tegaldlimo

Para petani di Dusun Paluagung, Desa Kendalrejo, Kecamatan Tegaldlimo, Banyuwangi, punya tradisi menarik. Mereka membuat tumpeng raksasa saat pesta panen raya Rabu lalu (25/3). Seperti apa suasananya?

Sepanjang jalan di Dusun Paluagung, Desa Kendalrejo, Kecamatan Tegaldlimo, terlihat masih sepi pagi itu. Sang mentari tampak masih malu-malu bersinar Jalan menuju lokasi panen raya, masih empat kilometer lagi dengan jalan makadam yang sempit dan becek.

lalan di kawasan paling ujung selatan itu benar-benar masih alami, belum tersentuh aspal dan becek kalau turun hujan. Karena akan ada acara yang dihadiri pejabat penting di Kabupaten Banyuwangi, sejumlah warga memberi urukan pasir. Bagi para petani di Dusun Paluagung Desa Kendalrejo, panen raya padi tahun ini merupakan yang paling berkesan dibanding sebelumnya. Sebab, kali ini panen raya dihadiri dihadiri Bupati Banyuwangi dan para pejabat forum pimpinan daerah (forpimda). Untuk menyambut kedatangan para pejabat, warga rela bekerja siang dan malam untuk mempersiapkan acara panen raya.

Sudah menjadi tradisi, setiap panen raya yang digelar setahun sekali itu dibarengi dengan memasak tumpeng dan makan ancak bersama. Semua ini, sebagai wujud syukur atas panen yang melimpah. Meski, sampai saat ini mereka hanya bisa menikmati pola tanam dengan dua kali palawija dan sekali tanam padi dalam setahun.

Yang lain dari tumpeng pada panen raya ini, petani membuat tumpeng agung yakni tumpeng dengan ukuran raksasa. Tumpeng yang didesain ukuran jumbo itu, dilengkapi pukulan dan menghabiskan 30 kilogram (Kg) beras, tujuh ekor ayam jago, satu dos mi instan, sepuluh iris tempe, dan aneka sayur mayur. "Kalau ditotal keseluruhan, khusus untuk membuat tumpeng agung itu habis Rp 2 jutaan," ujar Anin Niswati salah satu juru masak.

Dalam panen raya tahun ini, warga sengaja membuat masakan tumpeng agung itu untuk bisa dimakan bersama. Tidak ada tesep khusus selama memasak tumpeng agung itu. Hanya, ada dua jenis nasi yang disuguhkan, yakni nasi kuning dan nasi gurih. Untuk sayurnya, itu sayur krawu, mi goreng, dan sambal goreng. "Kita masak lengkap dan ditata agar lebih terlihat menarik," katanya.

Untuk membuat tumpeng agung itu, para petani iuran secara sukarela. Meski telah iuran, mereka masih tetap membuat tumpeng ukuran kecil. Tumpeng yang dibuat itu, dibawa ke lokasi panen raya menggunakan ancak. "Untuk ancak ini sudah biasa dalam pesta panen raya.” ujar ketua panitia panen raya, Rifai, 43.

Setelah para petani berkumpul sambil membawa tumpeng acara dimulai. Sebagai pembuka, pejabat diminta untuk memotong tumpeng agung dan diserahkan kepada ketua panitia panen raya. Saat bersamaan, ratusan masyarakat berebut tumpeng dalam ancak yang telah dikumpulkan.

Bagi warga yang paling dinanti sebenarnya adalah nasi dan lauk pada tumpeng agung. Karena masih ada bupati dan pejabat lainnya, mereka terlihat enggan untuk berebut. Apalagi, tumpeng agung itu juga dijaga ketat oleh sejumlah panitia. Sebagian warga baru berebut ketika para pejabat meninggalkan lokasi.

Bagi sebagian warga mempercayai jika makanan tumpeng agung itu menuai berkah. "Sebetulnya, kami ingin makan bersama dengan bupati. tapi karena beliau sibuk jad i tidak bisa," ujar Makruf, 38, warga setempat. (RaBa)

Related Posts:

Kantor Cabang Garuda Indonesia Banyuwangi Diresmikan

Kantor Cabang Garuda Indonesia Banyuwangi Diresmikan

BANYUWANGI - Maskapai penerbangan papan atas tanah air, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk kini semakin dekat dengan masyarakat Banyuwangi. Hal itu menyusul pembukaan kantor cabang Garuda Indonesia Banyuwangi kemarin (26/3).

Direktur Niaga Garuda Indonesia, Handayani mengatakan, sejalan dengan pengembangan network yang dilakukan Pemkab Banyuwangi, Garuda Indonesia siap mendukung pengembangan potensi kabupaten ujung timur Pulau Jawa ini. "Penerbangan Garuda Indonesia di Banyuwangi berlangsung sejak 1 Mei 2014. Penerbangan ini bisa meningkatkan konektivitas Banyuwangi dengan kota-kota lain di Jatim dan Indonesia bagian timur," ujarnya.

Menurut Handayani, dengan keberadaan kantor cabang Garuda Indonesia di jalan PB Sudirman 39B, Banyuwangi, maskapai pelat merah tersebut akan lebih dekat dengan masyarakat Bumi Blambangan dan daerah lain di sekitarnya. "Mohon doa restu agar kantor cabang Banyuwangi ini dapat selalu memberi kemudahan kepada pelanggan," pinta dia.

Handayani berharap, keberadaan kantor cabang Garuda Indonesia Banyuwangi bisa memberi nilai tambah bagi pengembangan kabupaten ujung timur Pulau lawa ini. "Kami siap bersama-sama tumbuh dan melayani masyarakat Banyuwangi," cetusnya.

Kantor Cabang Garuda Indonesia Banyuwangi, kata Handayani, memiliki layanan yang cukup lengkap. Layanan yang bisa diakses di kantor tersebut antara lain, reservasi ticketing dan Garuda Miles, City Cheek-in dan pusat layanan informasi. Layanan informasi itu dapat memberikan kemudahan bagi para pelanggan dalam pengurusan semua persiapan sebelum melakukan penerbangan. "Kami berharap kantor baru ini dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi customers dan mitra usaha kami serta meningkatkan pelayanan Garuda," kata Handayani.

Dalam sambutannya, Bupati Abdullah Azwar Anas mengatakan, pihaknya berharap kantor cabang Garuda Indonesia di Bumi Blambangan akan menjadi salah satu sarana pendorong kemajuan daerah. "Untuk membangun daerah perlu kolaborasi positif dengan berbagai pihak. Sebab, tangan pemerintah terbatas," kata dia. (RaBa)

Related Posts:

Ekspedisi Budaya ke Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo, Wongsorejo (2)

Tim Ekspedisi Radar Banyuwangi

Banyaknya temuan pecahan tembikar dan porselen di kawasan hutan jati Dusun Tangkup, Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo, menjadi perhatian tersendiri bagi Tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-RaBa) bersama Dewan Kesenian Blambangan (DKB).

TIM ekspedisi sempal tercengang begitu menginjakkan kaki di kawasan hutan jati tak jauh dari mega proyek pembangu nan Waduk Bajulmati tersebut. Tim ekspedisi seolah tak percaya ketika melihat kepingan tembikar dan porselen berserakan di kawasan tersebut.

Ditemani anggota ekspedisi dari desa setempat, yaitu Jumari, Nyoto, Rozak, dan Kepala Dusun Badolan bernama Jumadi, tim ekspedisi semakin bersemangat melanjutkan perjalanan mencari pecahan-pecahan tembikar dan porselen lain. Kali ini tim ekspedisi didatangi anggota baru, yaitu Hubaidillah alias Pak Obet. Dia adalah seorang pengamat batu asal Sumenep, Pulau Madura.

Jenis tembikar yang kami temukan berbeda-beda bentuknya. Kepingan tersebut merupakan pecahan berbagai jenis tembikar. Tidak hanya tembikar, tim ekspedisi juga melihat pecahan porselen berserakan di atas tanah. Berdasar motif dan warnanya, porselen tersebut sangat beragam.

Tim ekspedisi memprediksi, jenis tembikar dan porselen yang berserakan di hutan seluas sekitar sepuluh hektare tersebut mencapai puluhan. Sebab, bentuk dan warna pecahan-pecahan yang ditemukan tim ekspedisi berbeda-beda. "Pecahan-pecahan tembikar dan porselen tersebar di hutan ini hingga radius sekitar 10 hektare," sebut Kepala Dusun Badolan, Desa Watukebo, Jumadi.

Yang menarik, tim ekspedisi menemukan pecahan porselen yang terdapat tulisan China. Temuan itu semakin meyakinkan bahwa benda-benda itu merupakan peninggalan masa lampau. Tidak hanya tulisan China, di setiap pecahan porselen yang ditemukan itu juga terdapat gambar. "Ukuran pecahan tembikar dan porselen yang ditemukan tim ekspedisi di dalam hutan cukup besar. Mungkin karena jarang dilewati orang, jadi pecahan porselen dan tembikar tersebut relatif masih besar. Di hutan ini pecahan porselen yang kita temukan lebih banyak dibanding yang ditemukan di bekas Keraton Macan Putih di Desa Gombolirang," kala MH. Qowim, anggota tim ekspedisi.

Pecahan tembikar dan porselen

Jumadi menambahkan, dalam dua tahun terakhir dia menemukan banyak pecahan-pecahan tembikar dan porselen berbagai jenis. Dia menyimpan sebagian temuan tersebut di rumahnya. “Yang saya simpan di rumah itu yang masih agak utuh. Saya selamatkan biar tidak diambil orang lain," kata Jumadi.

Sementara itu, MH. Qowim, salah satu anggota DKB yang pernah melakukan ekspedisi dan ekskavasi di bekas Keraton Macan Putih, menyebut dibandingkan tembikar dan porselen yang ditemukan di bekas Keraton Macan Putih di Desa Gombolirang, Kecamatan Kabat, tembikar dan porselen yang ditemukan di Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo, lebih banyak. Selain lebih banyak juga lebih variatif. "Baik warna maupun ornamennya, porselen yang ditemukan di sini lebih banyak dan variatif, " katanya.

Salah satu anggota DKB tersebut menduga hal itu diakibatkan lokasi bekas peradaban Blambangan kuno di Desa Watukebo itu jauh dari permukiman warga. Selain ini, kawasan tersebut juga masuk wilayah instansi tertentu. Sehingga tidak sembarang orang bisa melakukan aktivitas di lokasi tersebut. Sementara itu, bekas Keraton Macan Putih di Desa Gombolirang dekat dengan permukiman, sehingga artefak- artefak yang tertinggal dari peradaban lama itu lebih mudah dijangkau "tangan tangan jahili". Apalagi, lahan bekas Keraton Macan Putih kini menjadi hak milik perorangan. "Jadi, terserah yang punya lahan mau diapakan artefak-artefak yang tersisa itu," sebut peneliti bahasa Oseng tersebut.

MH. Qowim menyebut, secara kasat mata porselen yang ditemukan di Desa Watukebo banyak kesamaan dengan yang ditemukan di Desa Gombolirang. Selain diduga sama-sama berasal dari Tiongkok, juga diduga berasal dari dinasti yang sama. "Warna dan ornamen porselen yang ditemukan di dua lokasi Itu sangat mirip, termasuk ketebalannya. Tetapi, perlu diteliti lebih mendalam apakah ada kaitannya dengan peradaban Macan Putih," katanya.

Namun demikian, MH. Qowim menduga peradaban di Desa Watukebo tetap lebih tua ketimbang Keraton Macan Putih. Itu didasarkan pada tidak adanya satu pun "sejarah" yang mencatatnya termasuk Belanda.

Lebih lanjut MH. Qowim menduga, sama seperti dengan porselen yang ditemukan di Desa Gombolirang, porselen yang ditentukan di Desa Watukebo berasal dari Tiongkok. Itu di buktikan dengan beberapa pecahan porselen yang terdapat empat huruf China. Terkait hal itu, MH. Qowim belum bisa memberikan komentar karena akan diteliti dulu bunyi dan arti tulisan lersebut. "Saya tidak bisa berbahasa China maupun membaca tulisan China. Jadi, harus dibaca oleh ahlinya dulu," pungkasnya. (RaBa)

Related Posts:

Pohon Kelapa Unik dan Langka Bercabang Empat

Pohon Kelapa Bercabang Empat

SILIRAGUNG - Pohon kelapa milik Hariyanto, 30, asal Dusun Sumberurip, RT 5, RW 11, Desa Barurejo, Kecamatan Siliragung, ini termasuk langka. Sebab, pohon itu bercabang empat.

Pohon kelapa yang sudah berumur puluhan tahun itu tumbuh di belakang rumah Hariyanto. Saat ini ketinggian pohon aneh itu sekitar 15 meter. Tinggi tiga cabangnya sekitar lima meter. "Saya belum lahir, pohon kelapa itu sudah ada," cetus Hariyanto.

Hariyanto menyebut, pohon kelapa itu warisan orang tuanya. Keterangan orang tuanya, pohon kelapa itu awalnya tumbuh normal seperti kelapa umumnya. "Waktu mulai besar diserang wuwung (kumbang)," terangnya.

Saat diserang kumbang itu, pohon kelapa itu sempat dikira mati. Sebab, daunnya kering dan habis. Tetapi, tidak lama dari itu, jelas dia, muncul empat cabang ini. "Bercabang empat sampai sekarang," katanya.

Yang membanggakan, lanjut dia, empat cabang itu menghasilkan buah. Sehingga, pohon kelapa itu menghasilkan buah lebih banyak dibanding pnhon kelapa lain. "Buahnya jadi banyak," ungkapnya.

Menurut Hariyanto, keanehan pohon kelapa miliknya itu sering mengundang penasaran warga. Berdasar keterangan orang tuanya, pohon kelapa itu ada penunggunya. Yakni lelaki tua berjenggot. "Kata bapak, dulu ada yang pernah menawar Rp 300 juta." katanya. (RaBa)

Related Posts:

Kerja Keras Penjual Bibit Cabai di Dusun Bodean, Kabat

Kerja Keras Penjual Bibit Cabai di Dusun Bodean, Kabat

Meski harga cabai kadang meroket, tapi tak pernah diimbangi dengan naiknya harga bibit. Di Dusun Bodean, Desa/Kecamatan Kabat, ada seorang penjual bibit yang tak pernah menaikkan harga dagangannya.

Tidak sulit menemukan penjual bibit cabai di Dusun Bodean, Kabat. Lokasinya sekitar 50 meter sebelum memasuki areal persawahan di Dusun Bodean. Penjual bibit cabai itu adalah sepasang suami istri yang telah lanjut usia. Mereka bernama Husnan, 80 dan Naswah, 65.

Kedua orang tersebut sudah berjualan bibit sejak tahun 2005. Sebelumnya, mereka berdua bekerja sebagai buruh tani. Setelah sang suami mulai merasa kesehatannya terganggu dan terkena penyakit katarak, akhirnya mereka beralih berjualan bibit cabai.

Awalnya, benih cabai mereka dapatkan dari cabai-cabai sisa panen yang mereka beli kepada petani sekitar, berhubung hasilnya kurang bagus, Husnan dan Naswah membeli benih di toko. Sebungkus benih seharga Rp 25 ribu bisa menghasilkan 5.000 bibit cabai.

Kepada Jawa Pos Radar Banyuwangi Husnan dengan senang hati menunjukkan cara meletakkan benih cabai. Caranya, sebuah biji cabai yang baru diambil dari kemasan dimasukkan ke dalam tanah yang dibungkus plastik tipis dan kecil. Tanah itu dibeli dari salah seorang tetanga seharga Rp 10 ribu perkarung.

Jika sudah selesai, semua tanah berisi benih itu disiram dengan air. Kemudian, benih-benih itu ditutupi kardus. Hal Itu dilakukan supaya tanah di dalam plastik itu tetap lembap. Menurut Husnan, satu minggu kemudian akan muncul bibit cabai. "Tanah yang digunakan sebagai media menyamai benih itu adalah tanah subur yang mengandung kotoran hewan dan bekas tumbuhan. Yang memasukkan harus Bapak (Husnan), kalau tidak biasanya susah tumbuh," terang Naswah.

Kemudian, setelah muncul bibit mirip kecambah, bibit-bibit cabai itu harus dirawat secara khusus. Bibit itu harus dirawat sampai usia satu bulan atau hingga tumbuh tiga daun. Namun demikian, ada juga yang dirawat sampai dua bulan agar hanyak daun yang tumbuh. "Bibit cabai siap tanam yang baik usianya dua bulan, karena cukup kuat," ujarnya.

Naswah pun memperlihatkan beberapa bibit cabai usia dua bulan yang dia rawat. Semua tampak segar karena dirawat dengan baik. nyak daun yang tumbuh. "Bibit cabai siap tanam yang baik usianya dua bulan, karena cukup kuat. "Kadang dikasih obat agar bibit tidak diserang hama kalau sudah dua bulan, sudah kuat," terangnya.

Pembeli bibit yang dijual Naswah dan Husnan ternyata tak hanya petani di wilayah Kabat saja. Naswah mengaku, tidak sedikit pembeli yang datang dari Singojuruh, Ketapang, dan Wongsorejo. Padahal, menurutnya, tidak ada yang istimewa dengan bibit produksinya.

Naswah mengaku menjual bibit cabai seharga Rp 15 ribu per 100 hibit dan Rp 12.500 per 100 bibit usia di bawah dua bulan. Harga itu tidak pernah berubah sejak dia berjualan bibit sepuluh tahun silam. "Kata orang suruh naikkan, tapi biar saja, kasihan yang beli," ujarnya.

Terkadang beberapa tetangga Naswah memesan bibit cabai kepadanya. Harganya bisa turun sampai separo harga biasa, yaitu Rp 7.500 per 100 bibit. "Tapi sebenarnya saya tidak mau minta bayaran," aku Naswah.

Dalam sekali pembibitan, Naswah biasanya bisa memproduksi sekitar 4.000 bibit. Karena tidak memiliki lahan luas. Dia hanya bisa memproduksi jumlah terbatas. Apalagi, suaminya sudah mulai sakit-sakitan, sehingga hanya sesekali membantu membungkus tanah dengan plastik berukuran kecil.

Dalam membungkus 4.000 bibit cabai, keduaorang tua yang hidup di tanah milik saudaranya itu membutuhkan waktu sekitar empat hari. Prosesnya adalah, memasukkan tanah ke dalam plastik, memasukkan benih, lalu menyirami. "Jarangsekarang orang mau bekerja seperti ini apalagi orang tua. Namun, kami harus tetap tekun, sopo weroh biso sogeh," ungkap Naswah sambil tertawa. (RaBa)

Related Posts:

Charles Schiefer, Warga Amerika yang Peduli Kebersihan Banyuwangi

Charles Schiefer, Warga Amerika yang Peduli Kebersihan Banyuwangi

Empat tahun tinggal di Banyuwangi, Charles Schiefer, 58, mampu memberikan teladan yang baik kepada masyarakat sekitar. Lima hari dalam sepekan dia rutin keliling kota untuk berolahraga seraya memungut sampah.

Langit di atas kota Banyuwangi tampak cerah pagi itu (23/3). Meski jarum jam masih menunjuk pukul 10.15, suhu udara di Kota Penyu ini cukup panas. Dalam kondisi demikian, seorang bule tengah berjalan santai di wilayah keluiuhan Sobo, kecamatan Banyuwangi.

Dandanan laki-laki itu cukup keren. Tubuhnya berbalut setelan t-shirt warna putih dan celana pendek warna biru. Sepatu sport plus kaca mata hitam yang dia kenakan semakin membuat tampilan pria tersebut semakin oke. Namun, ada yang terkesan "mengganjal" di pandangan. Tangan laki-laki itu menenteng tas kresek warna merah. Tidak jarang dia membungkuk mengambil sesuatu yang berserakan di tepi jalan yang dia lewati.

Dia tidak segan menyeberang jalan untuk mengambil plastic yang berserakan di atas tanah. "Turis itu memang sering mengambil sampah, Mas. Hampir setiap hari." ujar salah satu warga sekitar kepada Jawa Pos Radar Banyuwangi. Penasaran dengan apa yang dilakukan laki-laki tersebut, wartawan koran ini berlari menghampirinya. "Saya tidak suka melihat sampah yang berserakan," ujar pria yang belakangan diketahui bernama Charles Schiefer itu.

Charles mengaku, kegiatan memungut sampah itu dia lakukan lima hari dalam sepekan. Tepatnya hari Senin sampai Jumat. "Sambil berolahraga jalan kaki keliling kota, saya mengambil sampah yang dibuang tidak pada tempatnya," kata Charles sembari pamit melanjutkan perjalanan.

Singkat cerita, Jawa Pos Radar Banyuwangi berhasil menemukan kediaman pria asal Pennsylvania, Amerika Serikat (AS) tersebut, yakni di jalan Letnan Sulaiman Nomor 52, Kelurahan Kebalenan, Kecamatan Banyuwangi. Rupanya sudah sekitar empat tahun terakhir dia tinggal di Bumi Blambangan.

Di rumah itulah wartawan koran ini punya banyak waktu berbincang. Setelah sebulan tinggal di kabupaten ujung timur Pulau Jawa ini, Charles mendapati banyak sampah, mulai tas kresek, botol plastik bekas, hingga gelas plastik bekas yang berceceran.

Prihatin dengan kondisi yang demikian, Charles berinisiatif membawa pulang sampah-sampah yang dia temukan tersebut. "Saya pikir Indonesia adalah negara yang sangat indah. Sayang, terlalu banyak orang yang membuang sampah tidak pada tempatnya," kata dia.

Bahkan, imbuh Charles, banyak orang yang membuang sampah di depan rumahnya sendiri. "Mungkin mereka pikir itu adalah sesuatu yang alamiah. Di AS juga ada orang yang seperti itu, tapi persentasenya sangat kecil," ungkapnya.

Charles sebenarnya merasa bangga dengan tempat tinggalnya di Banyuwangi. "Tetapi akan sulit untuk bangga jika setiap orang buang sampah sembatangan," tuturnya.

Dia mencontohkan, masyarakat AS cenderung enggan buang sampah tidak pada tempatnya. Selain melanggar hukum, risiko yangditanggungpun cukup berat. Jika tindakan buang sampah itu diketahui polisi, orang yang membuang sampah harus membayar denda setara Rp 2,5 juta.

Nah, di Banyuwangi, kata Charles, sebenarnya ada banyak area daur ulang sampah. Namun, hanya orang-orang tertentu yang senang mengumpulkan barang-barang bekas untuk didaur ulang. "Di rumah saya, 95 persen sampah bisa didaur ulang. Saya membuat kompos sendiri. Bagi saya itu bagus, karena saya tidak perlu membeli kompos. Kompos itu saya manfaatkan untuk memupuk tanaman di rumah saya," kata dia.

Pria yang hobi snorkeling, memancing, dan berwisata di hutan itu mengaku, beberapa waktu lalu berkunjung ke Pemuteran, Bali. Seraya snorkeling Charles membawa tas. "Saya mengambil sampah yang ada di laut. Dalam sekejap, tas saya sudah penuh dengan sampah plastik," ujarnya prihatin.

Sekitar tahun 2003 Charles berkunjung ke kawasan Rinca, sekitar Pulau Komodo. Dia melihat banyak sampah di Pantai Pink itu. Sampah-sampah itu dia naikkan ke perahu. "Saya tidak tahu sampah itu akan diapakan oleh pemilik perahu tersebut. Tetapi, saya berpesan kepada pemilik perahu agar sampah itu diletakkan di tempat yang semestinya," terangnya.

Khusus di Banyuwangi, Charles mengaku kabupaten ujung timur Pulau Jawa Ini kini jauh lebih bersih dibanding kali pertama dia datang sekitar empat tahun lalu. “Dulu sampah di mana-mana. Tetapi, sekarang lebih bersih. Pantainya juga. Saya mendengar "wali kota"-nya membersihkan pantai," terang pria berperawakan tinggi tersebut.

Bagi Charles, kebersihan Banyuwangi yang meningkat tersebut merupakan kemajuan positif. "Sekarang Banyuwangi lebih bersih. Itu bagus. Tetapi kita tidak boleh berhenti Kita harus terus menjaga kebersihan," ajaknya.

Charles mengatakan, mengeluh bukan jalan keluar. Karena itu, meski kegiatan memungut sampah yang dia lakukan adalah sesuatu yang kecil, tapi dia merasa sudah melakukan sesuatu yang benar. "Kita jangan jadi bagian dari masalah, tapi harus menjadi bagian dari solusi" cetusnya.

Menurut Charles, meminimalkan emisi karbon sangat penting bagi warga Banyuwangi dan Indonesia. Apalagi, Indonesia adalah negara kepulauan. Sebab, menurut dia, emisi karbon menjadi salah satu penyebab pemanasan global. "Jika kutub utara mencair, air laut akan naik. Dataran Anda akan menyempit," pungkasnya. (RaBa)

Related Posts:

Ekspedisi Budaya Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo, Wongsorejo (1)

Tim Ekspedisi Radar Banyuwangi

Jawa Pos Radar Banyuwangi kembali melakukan ekspedisi. Tahun ini tim ekspedisi menjelajah hutan belantara di wilayah Wongsorejo. Fokus tim ekspedisi adalah melacak jejak situs peninggalan kerajaan Blambangan kuno sebagai cikal-bakal Banyuwangi. Berikut jejak-jejak ekspedisi yang dimulai Minggu (22/3) lalu.

Mobil yang kami tumpangi meluncur dari kantor Jawa Pos Radar Banyuwangi (RaBa) tepat pukul 07.00. Rombongan tim terdiri atas enam orang. Mereka adalah Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi Samsudin Adlawi, Pemimpin Redaksi Bayu Saksono, Syaifuddin Mahmud, Gerda Sukarno, MH. Qowim, dan Taufik Ferdiansyah.

Sekitar satu jam perjalanan dari kota Banyuwangi, tim ekspedisi berhenti sejenak di sekitar Pasar Bajulmati untuk bertemu anggota ekspedisi dari Wongsorejo. Sampai di pertigaan Pasar Bajulmati, rombongan RaBa langsung disambut tokoh masyarakat Wongsorejo. Salah satunya adalah Kepala Dusun (Kadus) Tangkup. Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo, Jumadi. Dari Pasar Bajulmati, rombongan meluncur ke hutan jati. masuk Dusun Tangkup, Desa Watukebo.

Begitu turun dari mobil, tim berjumlah sepuluh orang langsung masuk hutan jati. Pak Kadus ditemani tiga orang. Mereka dikenal sebagai pemburu batu-batuan di wilayah Wongsorejo. Begitu memasuki hutan jati, kami disuguhi pecahan porselen yang berserakan di tanah.

Kawasan hutan jati itu ternyata banyak menyimpan peninggalan-peninggalan sejarah kerajaan. Ada pecahan mangkuk, pecahan piring beling, gerabah, dan uang kepeng. Bahkan, batubata berukuran besar juga berserakan di kawasan hutan jati seluas sekitar sepuluh hectare tersebut.

Tidak sulit menemukan benda-benda bersejarah tersebut. Sebab, benda-benda tersebut berserakan di atas tanah di hutan jati. "Baru dua tahun lalu kami tahu bahwa di sini banyak pecahan benda-benda lama," kata Kepala Dusun Badolan, Desa Bajolmati, Jumadi, yang juga ikut dalam rombongan ekspedisi.

Rombongan pun melanjutkan perjalan ke arah barat. Sama seperti penemuan pertama, tim ekspedisi tidak hanya disuguhi pemandangan kayu jati milik Perhutani. Tim ekspedisi terus disuguhi pecahan-pecahan porselen, pecahan tembikar, dan pecahan batu bata berukuran besar. Artefak-artefak itu tampak keleleran di jalan hutan yang kami lintasi.

Kemudian, tim berhenti sejenak di sebuah bekas galian waduk. Di sana tim menemukan tumpukan batubata berukuran besar dengan jumlah yang lebih banyak. "Ayo kita jalan lagi agak ke barat. Di sana ada tumpukan batu bata lagi yang belum hancur dan masih tertata," teriak Jumadi.

Selanjutnya, rombongan menyusuri semak-semak yang menjalar di sebuah tebing kecil bekas galian. Dengan penuh keyakinan, Pak Kadus langsung menunjuk satu titik berupa tumpukan batubata kuno yang masih tertimbun tanah. Tanpa basa-basi tim pun membersihkan tebing tersebut. Ternyata prediksi Pak Kadus benar. Satu titik yang ditunjuk tersebut ternyata berisi tumpukan batu bata berukuran besar. Berdasar tumpukan batu-bata itu, kami semakin yakin di kawasan ini memang dulu pernah ada peradaban. "Batu-bata ukurannya besar, sekitar 30 cm x 20 cm," timpal Jumari, angootatim ekspedisi.


Kadus Jumadi mengatakan, dulu batu-bata tersebut sangat mudah dijumpai dan memang jumlahnya banyak. Dirasa mempunyai nilai sejarah, batu-bata tersebut banyak yang mencuri. Namun, yang mencuri adalah orang-orang luar kota. "Banyak diambili orang-orang Bondowoso dan Situbondo," tambah Jumadi.

Selanjutnya, tim merangsek lebih ke dalam hutan jati. Setelah menempuh perjalanan saru kilometer, kami menemukan dua buah gundukan yang di bawahnya diduga terdapat sisa-sisa bangunan. Sebab, gundukan tanah tersebut bentuknya sangat presisi dan sangat tertata rapi.

Di sekitar gundukan tersebut tim ekspedisi tidak sulit menemukan pecahan-pecahan porselen, tembikar, dan benda-benda kuno lain. Sama seperti saat tim pertama kali masuk ke dalam hutan. Benda-benda kuno tersebut berserakan begitu saja. Kalikan, tim ekspedisi sempat menemukan protolan gigi. Entah itu gigi binatang ataukah gigi manusia masih belum bisa dipastikan. Ukuran gigi tersebut sangat besar.

Yang paling mengejutkan lagi, tim ekspedisi menemukan pecahan batu-bata yang terdapat tulisan China. Hal tambah meyakinkan tim ekspedisi bahwa di kawasan hutan itu terdapat bekas peninggalan bersejarah.

Sementara itu, MH. Qowim, salah satu anggota ekspedisi sekaligus anggota Dewan Kesenian Blambangan (DKB), menduga situs tersebut merupakan peninggalan Blambangan kuno. Berdasar wujud batu bata yang ditemukan, dia menduga situs di Desa Watukebo tersebut lebih tua ketimbang situs Keraton Macan Putih di Desa Gombolirang, Kecamatan Kabat. Itu didasarkan atas bata yang ditemukan di Watukebo sudah banyak yang membatu. Menurutnya, itu berbeda dengan bata-bata yang ditemukan di Desa Gombolirang.

Dugaan lain yang mengindikasikan situs di Desa Watukebo lebih tua, peradaban di Desa Watukebo itu lepas dari catatan sejarah. Berbeda dengan Keraton Macan Putih yang tercatat dalam sejarah, baik itu dalam bentuk babad maupun mitos. Jika peradaban di Desa Watukebo itu lebih muda daripada peradaban di Keraton Macan Putih, maka paling tidak peradaban tersebut akan tercatat dalam sejarah. Paling tidak juga, tambah MH. Qowim, Belanda akan mencatatnya, terutama lokasi dan nama kerajaannya.

"Jadi, pantas kalau situs di Desa Watukebo itu disebut sebagai situs Blambangan kuno, sampat ditemukan bukti yang menyanggahnya. Meskipun demikian, ini sebatas dugaan yang perlu dibuktikan dengan penelitian mendalam. Terkait hasil analisis tentang berbagai artefak yang ditemukan, tidak bisa dipaparkan saat ini karena memerlukan uji laboratorium untuk menganalisis kadar karbon. Bentuk, bahan, dan ornamen yang masih tersisa juga perlu diteliti," kata peneliti bahasa Oseng tersebut.

Namun, patut disayangkan karena sebagian situs di Desa Watukebo tersebut telah menjadi lembah. Beberapa alat berat beberapa waktu lalu mengeduk lokasi itu. Konon, hasil kedukan lahan yang masuk wilayah hutan jati itu digunakan menguruk Waduk Bajulmati. "Sangat disayangkan,” kata Samsudin Adlawi, direktur RaBa yang juga ketua DKB. (RaBa)

Related Posts: