Ekspedisi Budaya ke Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo, Wongsorejo (3)

Tim Ekspedisi Radar Banyuwangi

Selelah menemukan kepingan porselen dan tembikar, tim ekspedisi Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-RaBa) dan Dewan Kesenian Biambangan(DKB) fokus mencari bata-bata berukuran besar.

Bata ukuran jumbo itu ditemukan di sekitar hulan jali Dusun Tangkup Desa Watukebo Kecamatan Wongsorejo. Bersama sepuluh anggota tim ekspedisi JP-RaBa, DKB, dan warga setempat, tim ekspedisi tidak hanya menemukan pecahan-pecahan bala merah berukuran besar yang berserakan di alas permukaan tanah di hutan jati tersebut. Tim ekspedisi juga menemukan tumpukan batu-bata besar yang masih tertata dan tertimbun tanah.

Menggunakan peralatan yang dibeli di Pasar Bajulmati, seperti celurit dan bodeng, tim ekspedisi bahu-membahu membersihkan semak-semak rumput yang menutupi tumpukan batu bata tersebut.

Memang, sebelum menembus hutan jati, tidak sengaja tim ekspedisi menghampiri pedagang senjata tajam di pinggir jalan raya dekat Pasar Galekan, Desa Bajulmati. Niat membeli sajam itu sebetulnya untuk keperluan di rumah. Direktur JP-RaBa sekaligus ketua DKB, Samsudin Adlawi membeli sabit besar keperluan kerja bakti di rumahnya. Sementara itu, Syaifuddin Mahmud (wapempred JP-RaBa) membeli parang besar.

Harganya tidak terlalu mahal. Sabit dan parang yang ditawarkan Rp 100 ribu per biji itu akhirnya dihargai Rp 50 ribu. Ternyata sajam tersebut sangat bermanfaat saat ekspedisi, karena bisa digunakan membuka akses setapak yang akan dilewati. "Ternyata alat-alat yang kita beli di Pasar Bajulmati tadi ada gunanya juga. Bisa jadi ini kode alam," ujar Kepala Dusun Badolan, Desa Bajulmati, Jumadi, yang tergabung dalam tim ekspedisi.

Kemudian, setelah semak-semak dibersihkan, terlihat tanah berwarna cokelat. Namun, setelah tanah tersebut dikeruk terlihat bata-bata yang masih tertata rapi. Kondisinya masih utuh. "Ukurannya sama seperti yang kita temukan di bawah tadi," timpal Jumari, anggota tim ekspedisi lainnya.

Sementara itu, MH. Qowim, salah satu anggota ekpedisi, menyebut bata yang ditemukan di Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo, itu masih dua ukuran. Ukuran pertama dengan panjang 30 cm, lebar 17,5 cm, tebal 5 cm. Ukuran kedua panjangnya 33, lebar 23,5, dan tebal 6 cm.

Sementara itu, bata yang ditemukan di bekas Keraton Macan Putih di Desa Gombolirang lebih beragam, yakni ada tujuh jenis. Pertama ukuran panjang 27 cm, lebar 15,5 cm, dan tebal 6,5 cm. Kedua, ukuran panjang 12 cm, lebar 21 cm, dan tebal 10 cm. Ketiga, panjang 10 cm, lebar 20 cm, dan tebal 9 cm. Keempat, ukuran panjang 39 cm, lebar 19 cm, dan tebal 9 cm. Kelima, ukuran panjang 27 cm, lebar 15,5 cm, dan tebal 6,5. Keenam, ukuran panjang 27 cm. lebar 15,5 cm, dan tebal 5.

Selain itu, di bekas Keraton Macan Putih tim ekspedisi juga menemukan bata mirip jajaran genjang. Bata dengan model tersebut panjangnya 25 cm, lebar bagian bawah 12 cm, lebar bagian atas 10, dan tebal 6 cm. Kemiringan sisi yang miring adalah 45 derajat.

Menurut anggota DKB tersebut, bata di Desa Watukebo baru ditemukan dua jenis, karena memang belum pernah dilakukan pencarian serius dan ekskavasi. "Ditemukan dua jenis itu kan karena kebetulan yang terlihat hanya itu. Belum dicari dan belum digali. Mungkin kalau digali akan ditemukan banyak macamnya," katanya.

Batu bata bertuliskan huruf China
Salah satu batu bata bertuliskan huruf China

Yang jelas, menurut MH. Qowim, kualitas bata yang ditemukan di Desa Watukebo kurang begitu bagus. Bata yang ditemukan di bekas Keraton Macan Putih dia anggap lebih baik. Dia menduga, bata yang ditemukan di Desa Watukebo kurang baik karena tanah yang digunakan membuat bata tersebut memang kurang bagus. Selain itu, bisa juga akibat adonannya kekurangan air atau pembakarannya kurang matang. "Iya, memang batanya getas. Mudah patah. Warnanya juga tidak merah, tapi kecokelatan. Bisa jadi pembakarannya kurang sempurna. Tetapi, itu baru sebatas yang ditemukan ini," katanya.

Terkait susunan bata yang terlihat pada ekspedisi kemarin, menurutnya ada kemiripan dengan yang ditemukan di bekas Keraton Macan putih. Kemiripan itu terletak pada cara menata sambung an bata dengan bata di atasnya. Sambungan bata di sap paling bawah tidak tepat berada di tengah bata di atasnya, melainkan bergeser sekitar 5 sampai 7 cm ke kanan atau ke kiri.

Namun demikian, menurut MH. Qowim, ada satu perbedaan mencolok. Pada susunan batu bata yang ditemukan di bekas Keraton Macan Putih tidak ada bahan perekat, sedangkan yang ditemukan di Desa Watukebo ada perekatnya berupa tanah. Tadi, di antara bata dan bata ada tanah sebagai loloh,” jelasnya.

Tentang bata yang terdapat huruf China, menurutnya perlu dibaca oleh ahlinya terlebih dahulu. "Bisa jadi itu ada artinya, dan bisa jadi pula itu tanda atau simbol. Itu perlu diteliti lebih mendalam," pungkas peneliti bahasa Oseng itu. (RaBa)

Related Posts:

0 Response to "Ekspedisi Budaya ke Bekas Kerajaan Blambangan Kuno di Watukebo, Wongsorejo (3)"

Posting Komentar